Hari ini, enam bulan tepat saya tidak melakukan posting ke blog ini. Ah, sungguh kangen rasanya menulis bebas untuk mencurahkan ekspresi ke dalam tulisan di blog ini. Maafkan saya blog… Kesibukan selama ini telah membuat saya menafikanmu…
Tapi, bukan karena jangka waktu 6 bulan tepat yang membuat saya ingin menulis lagi di blog. Bagaimanapun, 31 Juli menjadi salah satu tanggal dalam kalender masehi yang akan selalul saya ingat.
Hari ini, dua tahun yang lalu. Jumat, 31 Juli 2009. Sudah menjadi kebiasaan dalam 8 bulan terakhir, saya selalu tertidur di kantor. Begitupun malam Jumat itu.
Sekitar pukul setengah 7 pagi, ada SMS masuk ke BB saya. Dari sepupu yang juga sahabat saya, Ganjar Ergantara Suganda. Isinya singkat, “Lu, yang sabar ya…” (Sebenarnya dalam bahasa Sunda, tapi demi memudahkan pemahaman jadi diterjemahkan semua :p)
Sebuah pesan singkat yang benar-benar menimbulkan tanya. Saya pun meneleponnya. “Apa maksudnya SMS tadi?” tanya saya.
Ganjar pun keheranan. “Katanya Pakde Herman (ayah saya) meninggal?” balas dia. “Kata siapa?” ujar saya lagi dengan nada meninggi. “Ibu saya,” tegas dia.
Saya coba menelepon Bi Nena, ibu dari Ganjar. Saya menanyakan kebenaran berita tersebut. Lantaran saya balik bertanya, beliau pun bingung dan mengatakan kabar tersebut datang dari Bi Erna, adik ipar bungsu dari ibu saya yang juga tetangga di Bandung.
Saya pun penasaran dan menelepon ke rumah Bi Erna. Saat tahu saya yang menelepon, dia langsung mencecar, “Lu, yang sabar ya,” kata dia. “Kenapa, Bi?” selidik saya. “Papa meninggal,” jawab dia.
Tak percaya dengan kabar itu, saya menelepon ke rumah di Bandung. Tak ada yang mengangkat. Saya telepon si Teteh, juga tak diangkat. Akhirnya bisa nyambung kala nelpon si Adhe, kakak ketiga saya. Dia hanya menjawab, “Ini lagi ke rumah sakit,” tanpa menjelaskan apa tujuan datang ke rumah sakit dan saya berasumsi dia pun tidak tahu.
Meski tahu kebenaran kabar itu bisa dipercaya, saya belum bisa menentukan perasaan yang terjadi. Saya coba menelepon istri, tapi tak diangkat. Saya pun menelepon ke rumah mertua hendak berbicara dengan istri saya.
Telepon pun diangkat oleh mertua. Baru keluar kata “Bu”, mendadak kerongkongan saya kering. Tak ada kata yang bisa keluar, hanya air mata yang berurai deras dan kaki yang mendadak lunglai dan saya menjadi terduduk. Mertua pun segera membangunkan istri saya. Baru saat mendengar suara istri, lidah tak lagi kaku untuk berbicara. “Bunda, papa meninggal. Segera pergi ke Sutami (rumah orang tua), ini ayah langsung berangkat ke Bandung,” perintah saya pendek. “Ayah sabar, jangan panik ya…” pesan istri saya.
Minggu, 31 Juli 2011, dua tahun sudah ayah saya meninggalkan saya. Tapi, entah kenapa, saya seperti masih merasakan kehilangan yang amat sangat. Setiap memori yang pernah terbentuk selama 30 tahun 7 bulan 24 hari saya hidup bersamanya, terus melintas di benak saya.
Minggu, 26 Juli 2009. Saya membuat sebuah putusan yang saya anggap terbaik tahun tersebut. Saya membatalkan rencana datang ke pernikahan sahabat saya di Jakarta dan memilih tinggal di Bandung. Alasan dasar sih sebenarnya hanya ingin berlama-lama dengan anak saya yang belum genap berumur dua tahun dan tengah lucu-lucunya. Tapi, siapa sangka, ada alasa lain Tuhan menahan saya untuk pergi.
Ya, hari itu, menjadi hari terakhir saya melihat ayah saya dalam keadaan bernyawa. Sekitar pukul 8 malam, setelah bercengkerama selama dua jam, saya pamit untuk pulang dari rumah sakit, tempat ayah saya dirawat. Saat pulang, saya coba membesarkan hatinya, “Pa, pas Alu ke Bandung Jumat besok, papa udah pulang kok,” kata saya sambil mencium tangan dan pipi ayah. Meski tak terlihat jelas karena terhalang selang oksigen, saya tahu ayah saya membalas dengan senyuman.
Tak ada yang tahu jika itu adalah senyuman terakhirnya untuk saya. Tak ada yang tahu juga, jika ayah saya benar-benar “pulang” pada Jumat, sesuai “janjinya” kepada saya. Pulang untuk selama-lamanya. (Ah… bahkan dalam meninggal pun, papa selalu menepati janji…)
Selasa, 26 Juli 2011. Tepat sekitar pukul 8 malam, saya kembali teringat memori kali terakhir melihat ayah bernapas. Saya pun tak kuasa menahan air mata usai menulis, “Tanggal ini, jam segini, dua tahun yg lalu, kali terakhir saya melihat ayah saya… :'( Allahumaghfirlahu…” pada akun Twitter saya. Aliran air mata itu baru mulai bisa terhenti ketika ada sebuah tangan menjulur seraya memberikan secarik tisu. (Thanks for your present… It means a lot for me)
Kamis, 28 Juli 2011, lewat tengah malam. Saya mencoba kembali merangkai memori dan pelajaran apa saja yang saya dapatkan selama 30 tahun 7 bulan 24 hari hidup bersama ayah saya.
Selain selalu berusaha menepati janji, laiknya seorang militer, ayah saya selalu tegas dan tepat waktu. Tapi, bukan itu faktor utama yang membuat saya kagum pada ayah saya. Ketaatannya pada tugaslah yang membuat saya kagum.
Kejadian bermula pada akhir masa SMA saya. Ketika itu, saya menuntut ingin mobil sendiri. Bukan tanpa dasar, menurut saya saat itu. Saya melihat, banyak anak dari temen ayah sayang dengan pangkat lebih rendah sudah bermobil. Sedangkan saya, masih harus berbagi dan rebutan dengan ketiga kakak saya.
Mendengar rajukan saya, ayah saya cuma terdiam. Hal yang sebenarnya membuat saya agak kesal saat itu.
Allah Mahatahu. Selang dua tahun, saya lulus UMPTN dan diterima kuliah di Jakarta. Saya pun memilih tinggal di mess tempat ayah saya tinggal.
Hal itu langsung membuka mata saya. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, ada banyak tentara dengan pangkat di bawah ayah saya yang setiap anaknya diberi mobil satu-satu. Tapi, ada pemandangan berbeda. Ada saja hal “aneh” yang dialami keluarga tersebut. Hal yang tidak ditemui di keluarga saya yang sempurna secara fisik dan mental.
Satu hal yang sampai saat ini saya tak bisa lupakan adalah ketika saya belum sarapan, padahal hendak berangkat kuliah. Tak dinyana, ayah saya pergi keluar rumah dan pulang dengan roti yang dibeli di warung rokok dari depan komplek.
Kesahajaan. Pelajaran itulah yang saya petik dari ayah saya. Meski punya banyak pangkat dan jabatan, ayah tak serta-merta memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi. Meski punya banyak kenalan di beberapa pos penting di pemerintahan dan perusahaan nasional, dia tak memberikan katebelece bagi anak-anaknya agar dimudahkan kerja.
Hal yang juga sempat saya rasakan ketika hendak memasuki SMA Taruna Nusantara. Kepala sekolah Tarnus merupakan sahabat ayah saya. Tapi, dia sama sekali tak mau meluluskan keinginan saya agar dimudahkan seleksinya. Saya pun gagal. Guna menghibur saya, dia hanya berkata singkat, “Cukup satu di keluarga ini yang merasakan beratnya menjadi tentara.”
Ah… masih banyak lagi kenangan dan pelajaran yang saya petik selama lebih dari 30 tahun hidup bersama ayah saya. Meski tahu tak ada sosok yang sempurna di dunia ini, saya tak peduli. Ayah saya yang membentuk saya menjadi seperti sekarang. Jikapun ada yang masih mengganjal, hanyalah karena saya hingga saat ini masih banyak meninggalkan nilai-nilai yang dia ajarkan.
“Mulailah untuk bisa berkompromi dengan diri sendiri,” nasihat seseorang yang menyayangi saya. Setelah dua tahun, saya merasa lega saat ini. Maaf telah membebani Papa di alam barzah selama dua tahun ini. Insya Allah, saya akan berusaha untuk terus menjadi Jalu seperti yang papa inginkan…
Terima kasih, Pa… Untuk 30 tahun 7 bulan dan 24 hari yang begitu berharga bagi saya.
Putra bungsumu,
Jalu Wisnu Wirajati (yang sejatinya ingin menggunakan kata Hidayat pada akhir nama sebagai simbol bahwa saya adalah anak dari sosok hebat, Herman Hidayat!)
Leave A Comment
You must be logged in to post a comment.