“You train a dog with food. You can buy a person with money. But there isn’t a man alive able to influence the Wolf of Mibu!”

Kata-kata Hajime Saito, tokoh polisi di anime Samurai X yang mempunyai julukan Serigala dari Mibu itu tampaknya benar-benar cocok menggambarkan kepribadianku. Dingin, cuek, dan cenderung bersikap rasional. Apa-apa pasti didasarkan atas pertimbangan logika. Termasuk juga urusan perempuan.

“Susah. Gue mungkin orang yang gampang suka ama cewek. Tapi ya itu, cuma sebatas suka. Tidak untuk mencintainya,” terangku kepada sahabatku.

Sahabatku memang orang yang cukup perhatian. Dia selalu memperhatikan ketika ada yang meneleponku. Bukannya sombong, tapi sebagian besar yang menghubungiku adalah perempuan. Hal inilah yang membuat sahabatku sebal. Sebab, tak satu pun dari perempuan itu yang menjadi pacarku.

“Apa sih susahnya membuka diri dan coba memberikan cinta kepada salah satu dari mereka,” tanya sahabatku retoris. “Toh, gue berani taruhan, salah satu bahkan mungkin semua dari mereka ada yang suka sama loe,” tambahnya sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

Aku pun tertegun memerhatikan bara di rokokku yang hampir menyentuh filternya. Pendapat sahabatku itu memang ada benarnya. Sudah beberapa tahun terakhir, aku memang tidak membuka diri untuk mencintai wanita. Bukan tanpa sebab.

“Susah,” timpalku sambil mematikan api rokok ke asbak seadanya. “Seperti kata Henry Miller, cinta itu akan selalu membuat kita merasa kekurangan. Itulah pengertian gue soal cinta. Itu jualah yang…mungkin…menyebabkan gue sulit mencari cinta sejati. Sebab, bagi gue, cinta penuh dengan syarat-syarat!”

Tak pernah kudapat cinta sejati, hingga kesekian kali…

Lantunan lagu Shanty berjudul Mencari Cinta Sejati di televisi yang menyala di kamar kos kami seakan menguatkan pendapatku.

Sambil mematikan rokok kreteknya, sahabatku berkata, “Itulah. Loe hanya melihat cinta dari hal-hal rasional…”

“Mungkin, memang itulah gue buat saat ini,” ucapku memotong perkataan sahabatku. Sambil merapikan bantal, aku melanjutkan, “Ngantuk. Udah kagak usah dibahas lagi. Besok deadline gue banyak banget kaya tsunami. Mana kudu bayar tagihan handphone dulu. Gue tidur dulu ye…”

“Terserah loe,” balas sahabatku. “Kalo menurut gue, pendapat loe ada yang salah. Kalo menurut loe cinta itu penuh syarat-syarat, itu hanyalah ego pribadi loe. Jika cinta tidak tahu bagaimana cara memberi dan menerima tanpa syarat, itu bukanlah cinta. Tapi sebuah transaksi!” tegasnya.

“Whatever-lah,” jawabku. “Mungkin karena emang gue lulusan fakultas ekonomi. Ngambil konsentrasi manajemen keuangan pula. Jadi, penuh dengan asumsi dan transaksi. Tapi yang jelas, buat gue, cinta itu gabungan dari pengertian, pengorbanan, dan tanggung jawab,” semburku sambil membenarkan letak kaus karena perutku tersembul.

“Nah itu pinter,” tutur sahabatku sambil menepuk perut buncitku.

“Eits, sabar dulu. Rasa cinta itu, buat gue, baru akan timbul kalau irasionalitas gue bangun. Sampai saat ini, tak ada seorang pun yang bisa membangkitkan kembali keirasionalitasan gue itu. So, saat ini, cinta bagi gue penuh dengan syarat. Titik,” pungkasku sambil menutup mata dengan bantal.

“Apa jadinya apabila ada cewek yang bisa membangkitkan keirasionalitasan loe itu dalam waktu dekat?” tanya sahabatku. Namun, aku lebih dulu terlelap berselimutkan malam. Zzz…zzz….zzz….

***

Pembicaraan dengan sahabatku pada malam Valentine di kamar kos kami itu masih terngiang jelas. Kendati sudah 5 watt, masih terdengar pertanyaan terakhir dari temanku sebelum mataku benar-benar terpejam. Apa jadinya apabila ada cewek yang bisa membangkitkan keirasionalitasanku? Hmm…tak bisa kubayangkan sebelumnya. Hingga saat ini.

Jawaban atas pertanyaan sahabatku pada malam hari kasih sayang itu mungkin akan terjawab sesaat lagi. Saat aku bertatap muka untuk kali pertama dengan perempuan yang baru kukenal lewat short message service saja.

“Jangan remehkan peristiwa kebetulan,” begitu tulis James Redfield pada bab pertama di novel filosofinya yang berjudul Celestine Prophecy. Tidak ada yang namanya kebetulan. Setiap peristiwa yang terjadi, mungkin itu hanya kebetulan menurut kita, selalu membawa pesan yang lebih besar.     Begitu pula dengan peristiwa kebetulan yang aku alami terkait dengan perempuan yang sesaat lagi aku jumpai.

Beberapa hari setelah pembicaraan dengan sahabatku di malam Valentine, aku memutuskan mudik ke kota kelahiranku. Bukan untuk melepas rindu. Toh tak ada yang aku cintai di kota itu selain keluargaku. Kepulanganku itu lebih karena aku diberikan tugas dari kantor. Tugas yang sangat aku sukai, menonton pertandingan tim yang aku puja sejak kecil.

Seperti biasa, sehari sebelum pelaksanaan pertandingan, aku berkumpul dengan komunitas pendukung kesebelasan favoritku. Hampir seluruh pengurus kelompok itu aku kenal. Tapi, aku lebih dekat dengan seorang teman. Temanku itu bisa dibilang tangan kanan ketua kelompok itu. Temanku itulah yang menjadi penghubungku dengan komunitas ini.

Saat sedang ngobrol ngalor-ngidul, tiba-tiba temanku itu pergi. Tanpa bermaksud apa-apa, aku memerhatikan arah tujuan temanku itu. Ternyata, dia pergi menghampiri seseorang. Seorang perempuan dengan paras dan penampilan menarik. Dalam hatiku, aku memuji dan kagum terhadap perempuan itu.

“Hey, what’s wrong with you? batinku. “You’re a Wolf of Mibu, aren’t you?” Tak mungkin mudah suka terhadap perempuan. Pertempuran kecil lalu terjadi di dalam hatiku. Antara apresiasiku terhadap sang perempuan versus harga diri sebagai seorang “serigala”. Ternyata, rasa kagumku menjadi pemenang pada battle of heart itu.

Ketika temanku berbalik duduk di sampingku, aku hanya diam. Tak berani bertanya soal my curiousity. Bukan karena malu atau takut diledeknya. Lebih karena pertempuran di hatiku belum usai, belum memunculkan pemenang dominan.

***

Pertempuran di hatiku sudah usai. Berganti dengan segumpal pertanyaan berkecamuk. Seminggu lamanya aku menyimpan tanda tanya besar di hatiku. Hingga kemudian keberanian dan kesempatan itu muncul. Keberanian dan kesempatan untuk bertanya kepada temanku, “Siapa namanya?”

Temanku lalu menjawab nama perempuan yang ditemuinya sepekan yang lalu. “Kenapa? Mau saya kenalin?” tanya temanku. Pertanyaan yang sebetulnya tak membutuhkan jawaban.

Aku pun mengangguk. Kemudian kupinjamkan ponselku kepadanya untuk meng-SMS perempuan yang dia temui itu. Berbalas SMS pun terjadi antara temanku dan gadis misterius itu. Sampai akhirnya, “Kamu boleh kok meneleponnya,” cerita temanku.

Senyum kecil pun tersungging dari mulutku. Tapi, itu tidak cukup untuk melukiskan keriangan yang terjadi di dalam hatiku.

Sorenya, aku langsung menelepon gadis itu. Mungkin karena tak bertatap muka langsung, sifat nervous yang biasa muncul saat aku bertemu orang baru, terutama cewek, seakan sirna. Bagaikan bertemu kawan lama, tak ada lagi rasa canggung setelah pembicaraan pertama kami di telepon.

Meski percakapan tak berlangsung lama, optimisme muncul di hatiku. Optimisme yang juga diselingi tanda tanya. “Inikah saatnya keirasionalitasanku bangkit kembali?”

Sejak saat itu, kami rajin SMSan dan telepon. HP CDMA-ku yang asalnya dipinjamkan ke rekan sekantor, kutarik kembali. “Sorry yah…gue juga butuh,” jawabku saat rekanku itu menanyakan alasanku. Dua minggu lamanya kami saling berkomunikasi melalui jaringan nirkabel.

Tepat 14 hari dan 3 jam setelah berkenalan melalui telepon, aku berkesempatan melihat wajahnya secara langsung. Sebelumnya, aku hanya bisa mengenalinya melalui MMS yang dia kirimkan. “Jangan ditransfer ke komputer yah…” begitu pesannya soal picture yang dia kirimkan.

Malam ini, kami berjanji untuk bersua. Di tengah jalan sebelum menuju titik pertemuan, terdengar alunan lagu dari Savage Garden, I knew I loved you before I met you. I have been waiting all my life. Aku pun tersenyum mendengar suara Darren Hayes di radio mobil kantorku.

Hal yang kunanti pun tiba. Perempuan yang aku temui itu sudah terlebih dulu sampai titik ordinat. “Kenalin…” jawabnya menyebutkan namanya untuk memperkenalkan diri. Sambil membalas memperkenalkan diri, aku tersenyum di dalam hati. “Bukankah kita sudah lebih dulu kenal meski hanya melalui telepon?” “Kenalan lewat telepon mah gak afdol,” jawabnya seakan tahu pertanyaan di benakku.

Sebuah awalan yang baik untuk mengenal dirinya lebih dekat. Hampir setiap pekan, aku menyengajakan diri meminta Dinas Luar Kota dari kantor. Tujuannya, kota kelahiranku tentu. Setiap pulang, aku pun mengusahakan diri untuk bertemu dengannya. Meski hanya untuk mengantar dan menjemputnya dari kantor. Itu sudah membuatku teramat senang.

***

Tak terasa, hampir tiga minggu lamanya sejak bertatap muka untuk pertama kali, kami telah bertemu. Terhitung lima kali kami saling bertemu. Enam jika dihitung dari saat pertama kali aku melihatnya. Makin hari, rasa kekagumanku kepadanya kian bertambah. Malah bertransformasi menjadi rasa suka atau perasaan yang aku tak pernah mau menyebutkannya.

Entah kenapa, saat hendak bertemu dengannya untuk keenam kalinya, aku (berusaha) memberanikan diri untuk mengatakan perasaanku yang sesungguhnya terhadapnya. Di malam ini, kuberanikan diri, menemuimu ‘tuk kesekian kalinya. Lagu remix Ikang Fawzi itu seakan menjadi katalisator keberanianku mengungkapkan perasaanku terhadapnya.

Namun, tetap saja ada rasa malu dan canggung yang tertinggal. Terus terang, aku merasa waktu ini terasa terlalu singkat. Akibat masih adanya rasa malu dan canggung itu, aku bak anak ABG ketika berhadapan dengannya. Saat hendak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Saat menanyakan, “Aku ingin kamu menjadikanmu lebih dari sekadar teman buatku?”

Satu bulan memang aku rasa terlalu cepat untuk mengatakan hal itu. Apalagi kamu baru enam kali bertatap muka. Alasan itu jualah yang membuatnya belum bisa mengambil keputusan atas pertanyaanku.

“Saya tuh orang yang mudah dekat sama siapa saja.Untuk saat ini, kamu memang orang yang paling dekat dengan saya. Tapi, saya rasa, hal itu terlalu dini karena kita baru saling mengenal,” jawabnya sambil diiringi senyum manis.

Bagiku beberapa orang, jawaban seperti gadis itu ucapkan mungkin akan menyebabkan rasa sedih, sebal, bahkan patah hati. Tapi itu tak terjadi padaku. Banyak alasan yang membuatku tidak merasakan hal itu begitu mendengar jawaban darinya.

Pertama, senyumnya itu membuat hatiku tenang. Kedua, setidaknya, beban yang mengimpitku selama ini sudah berkurang. Tak ada lagi perasaan yang dipendam. Ketiga, ini adalah hari besarku. Aku bisa mengalahkan kekakuan sifat rasionalitasku. Ya, rasa irasionalitasku seakan reborn setelah sekian lama terkunci rapat-rapat di dasar hati yang paling dalam. Tertutup oleh rasa rasionalitas dan keegoisanku.

Aku pun tersenyum mendengar jawabannya. Setelah mengobrol sejenak, aku pun pamit. Aku pulang dengan perasaan lega (saat itu). Mungkinkah, ini yang namanya cinta?

Ucapan hendaknya dilihat sebagai alat komunikasi, bukan sebagai pengganti tindakan.
Cinta adalah dorongan yang lebih kuat daripada apa pun.
Cinta tidak kasat mata.
Cinta tidak dapat diukur.
Cinta cukup kuat untuk mengubah seseorang dalam sekejap.
Cinta menawarkan kepada seseroang lebih banyak kebahagiaan daripada benda apa pun yang mungkin dimiliki.
(Barbara De Angelis, Ph.D)

***

Pengungkapan perasaanku terhadapnya pada pertemuan keenam kami, membuat hubungan kami bertambah dekat. Setidaknya itu menurut pendapatku. Tugas utamaku tidak lagi untuk liputan. Namun, untuk bersua dengannya. Aku pun terngiang tulisan John Dryden, Inggris. “Cinta membuat sebulan serasa sejam, setahun serasa sehari, dan setiap ketidakhadiran terasa bagaikan seabad lamanya,” tulisnya. Beberapa kali sempat jalan bareng. Harapanku hanya satu, membuat dia lebih kenal dengan diriku.

Sudah tiga minggu lamanya sejak pertemuan keenam kami. Aku pun tak bisa menebak apakah dia sudah lebih mengenal diriku. Aku pun tak punya keberanian untuk menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Bukan karena takut. Tapi, tak ada kesempatan yang pas saja untuk mengutarakannya. Akhirnya, kesempatan itu tiba.

“Mana…katanya mau ngasih aku cerpen,” tanyanya kepadaku.

Bingo. Mungkin inilah kesempatan yang tepat untuk menanyakan jawaban atas pertanyaanku di pertemuan keenam kepadanya. Biarlah aku disebut norak atau coward. Tapi, inilah caraku dan satu-satunya kesempatan emas untuk menanyakan hal itu kembali. Seperti kata William Shakespare, “Mungkin sekaranglah saatnya tangan kalian bertaut. Dan bersama tangan kalian itu, hati kalian pun bertaut.” Mungkin inilah saat hati serigala itu luluh.

“Meea…maukah kamu menautkan tangan dan hatimu kepadaku,” tanyaku.

(Cerita ini diberikan saat “menembak” pacar yang kini menjadi istri penulis)