Menarik melihat sebuah kejadian di Bandung, akhir Juli lalu. Ketika sebuah rumah berisi keluarga purnawirawan TNI – yang juga seorang pahlawan, dikosongkan secara paksa oleh Kodam III/Siliwangi.

Dari tayangan berita-berita di televisi, terlihat anak dari mendiang pahlawan tersebut bersikap histeris dengan sikap para aparat. Mereka mempertanyakan proses pengosongan yang dinilai tidak manusiawi, mengingat jasa-jasa sang ayah terhadap kemerdekaan negeri ini.

Sementara, pihak Kumdam III/Siliwangi mengatakan jika proses pengosongan tersebut telah melalui proses sesuai dengan tata cara yang berlaku. Mereka telah mengirimkan surat permohonan pengosongan rumah, sebelum Hari H tiba. Sebab, lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi rumah dinas TNI yang masih aktif seolah beralih fungsi menjadi rumah keluarga.

Dari kacamata umum, bisa saja publik menjadi antipati terhadap sikap puluhan TNI yang melakukan eksekusi. Namun, saya yang juga hidup di lingkungan ketentaraan sejak lahir, tahu persis tentang peruntukan rumah dinas. Saya – seperti penghuni rumah yang dieksekusi – juga berstatus “anak kolong” alias anak dari seorang tentara.

Melihat kejadian yang terjadi di sebuah lingkungan rumah dinas ketentaraan di Kodam III/Siliwangi itu, saya kembali terkenang dengan almarhum ayah. Bukannya sombong, secara kepangkatan, ayah saya berada satu level di atas ayah dari penghuni rumah yang dieksekusi itu. Namun secara sikap, ayah telah menuruni sikap tahu diri kepada saya.

Saya pun teringat kembali kejadian pada 2000. Ketika itu, saya yang masih kuliah di Depok menempati rumah dinas yang ditempati ayah saya.

Suatu hari, ada seorang perwira pertama yang datang menemui saya. Dia menanyakan, apakah bisa menemui ayah saya untuk berdiskusi soal rumah yang ditempati. Mengingat, ayah sudah memasuki pensiun dan tinggal di Bandung. Jikapun bisa ditempati, perwira itu menanyakan jumlah uang pengganti yang harus diberikan.

Perwira itu memang tak langsung menghubungi ayah. Biarlah saya yang berbicara lebih dulu. Saya pun berangkat ke wartel dan menelepon ke Bandung untuk memberitahukan niat dari perwira tersebut.

Cukup dijelaskan sekali, ayah saya langsung memutuskan. “Kamu harus segera berkemas. Serahkan kunci rumah karena itu adalah hak dia. Jangan sekali-kali mengambil keuntungan dari aset milik negara,” tegasnya dari ujung gagang telepon.

Saya pun kembali ke mess dan kemudian menjelaskan kepada perwira tersebut. Dia pun kaget karena putusan kilat itu. Lebih kaget lagi karena ayah saya tak meminta sepeser pun uang pengganti. Sebab, seperti dialami rekan-rekan dia, banyak pula penghuni lama yang meminta uang pengganti dengan jumlah tidak rasional.

Kejadian yang terjadi 10 tahun lalu itu kembali teringat setelah melihat berita eksekusi rumah dinas di Bandung akhir Juli lalu. Agak geli juga melihat sikap yang ditunjukkan anak dari pemilik rumah yang merasa pemerintah dalam hal ini Kodam III tak menghargai jasa-jasa orang tuanya.

Menilik kejadian yang saya alami dan terkait dengan sikap ayah saya, sikap mereka yang mempertanyakan penghargaan dari pemerintah terhadap jasa orang tuanya jelas salah tempat. Dengan diizinkannya rumah dinas itu ditempati meski orang tuanya sudah lama pensiun jelas sudah menjadi penghargaan tersendiri. Sebab, banyak pahlawan lain yang bisa saja lebih berjasa, hidup tak senikmat yang dialami mereka. Pasti banyak pula anak dan cucu para pahlawan lain yang hingga saat ini belum memiliki rumah atau kehidupan seenak mereka yang merengek-rengek karena rumah dinas orang tuanya dieksekusi pemerintah.

Mungkin, saya bisa berkomentar seperti ini karena ayah saya bukanlah pahlawan yang turut berjuang merebut kemerdekaan dari para penjajah seperti halnya penghuni rumah yang dieksekusi. Tapi di mata saya, beliau tetaplah pahlawan. Seorang pahlawan yang telah mengajarkanku untuk menghormati negara. Seorang tentara yang telah menanamkan sikap kepada anak-anaknya untuk tidak berlagu karena “anak kolong”. Karena toh, yang tentara adalah dia, bukan saya.

Jika sudah begini, ingin rasanya bisa ngobrol di ruang keluarga untuk mendiskusikan hal yang terjadi itu. Sayangnya, kini saya hanya bisa berdiskusi sambil menatap batu nisan di pusaramu, Pa… Semoga engkau tahu, jika anakmu ini, bangga kepadamu.