Tampaknya topik konfrontasi dengan Malaysia kembali menghangat akhir-akhir ini. Setelah kasus di perairan yang melibatkan pejabat kepabeanan Indonesia dan nelayan asal Malaysia, disusul berita tentang rencana hukuman mati kepada warga negara Indonesia yang bersalah di Malaysia.

Sikap Malaysia yang dianggap selalu bermuka dua, tampang baik kala butuh sesuatu dari Indonesia saja, tampaknya menyulut api amarah sebagian masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah dengan melempari Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta dengan kotoran.

Foto: Getty Images/Daylife

Muncul pula usulan agar negeri ini memutus hubungan diplomatik dengan Negeri Jiran itu. Sebab, sudah banyak kejadian Indonesia dirugikan oleh sikap Malaysia. Dimulai dengan perebutan pulau, mencontek budaya, hingga kasus hukum yang terjadi baru-baru ini. Seolah-olah negeri ini inferior dibandingkan Malaysia.

Hmmm… memang banyak hal yang telah Malaysia ragukan merugikan negeri ini. Namun, terkait dengan sikap benci kepada Malaysia, saya kembali teringat obrolan dengan supir mobil sewaan di Bali, saat bulan madu beberapa tahun lalu.

Saat itu, supir mobil sewaan yang saya tumpangi dengan istri mengeluhkan jumlah wisatawan mancanegara yang turun drastis dibandingkan dekade lampau. Dia menganggap jika dalang dari semua pemboman itu adalah… Malaysia!

Melihat analisis yang diucapkan si supir, cukup masuk akal juga. Imam Samudra atau Amrozi memang adalah (diduga) pelaku pemboman itu. Namun, siapa dalang di balik itu? Dr. Azahari dan Nurdin M. Top, keduanya adalah warga negara Malaysia.

Lantas, apa hubungannya dengan pemerintah Malaysia? Pariwisata.

Bisa saja, pemerintah Malaysia iri dengan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali. Karena itulah, demi menggalakkan pariwisata di daerahnya, Malaysia meminta dua orang itu untuk merencanakan pengeboman terhadap Bali. Dengan harapan, ada ketakutan dari negara-negara Barat untuk mengizinkan warganya berkunjung ke Bali. Sehingga, Malaysia yang secara teritorial merupakan tetangga Indonesia, “kecipratan” luberan wisatawan dari barat.

Buktinya apa? Ketika Bali diguncang prahara, pemerintah Malaysia semakin gencar mempromosikan Tahun Kunjung Malaysia. Jargon “Truly Asia” makin sering dilihat didengar. Padahal, jika melihat iklannya, kita  tahu bahwa ada beberapa budaya yang ditonjolkan di situ adalah hasil asimilasi atau bahkan mencontek mentah-mentah dari kebudayaan negeri ini. Angklung, Reog Ponorogo, dan lagu “Rasa Sayange” mungkin hanya sebagian.

Memang, saya pernah lihat salah satu acara di televisi, reog dibawa ke Malaysia oleh pria Jawa yang beberapa dekade lalu mengadu nasib di Malaysia. Dia kemudian mengajarkannya kepada warga sekitar. Mungkin inilah yang menjadi awal mula Malaysia mengaku memiliki reog.

Kilatan memori saya kemudian beralih ke Juli 2009. Ketika itu, Manchester United mencoba mengadakan tur di Indonesia. Tiga hari menjelang pertandingan, bom meledak. MU pun batal tanding di Gelora Bung Karno.

Siapa yang mengambil keuntungan dari kejadian tersebut? Malaysia. Dengan dibatalkannya laga di Indonesia, MU menjadi tampil dua kali di negeri tersebut, sembari menunggu laga selanjutnya di Thailand.

Tentunya tak etis jika kita menyalahkan seluruh bangsa Malaysia tentang rentetan cerita negatif di tanah air kita. Saya pun teringat dengan cerita seorang teman yang menetap di Malaysia.

Teman itu bercerita, “Di sini, orang keturunan iri dengan para pekerja asal Indonesia. Mereka itu rajin-rajin sehingga lahan pekerjaan yang seharusnya menjadi mereka tergerus.”

Melalui media chat, dia melanjutkan ceritanya. “Nah, orang keturunan itu kini banyak duduk di sektor bisnis dan pemerintahan di Malaysia. Denger-denger sih, merekalah yang menjadi aktor intelektual dari kejadian di Indonesia,” tegas dia.

Teman saya itu memang tak berani menjamin 100 persen ceritanya sebagai sebuah kebenaran. Tapi setidaknya, memberikan gambaran jika tak semua orang Malaysia itu bermusuhan dengan Indonesia. Hanya segelintir, namun punya pengaruh luar biasa.

Jika sudah begini, ada baiknya ada ketegasan sikap dari pemerintah Indonesia atas sikap Malaysia yang disetir oleh sekelompok orang berpengaruh itu. Kita pun jangan sampai terpancing berbuat anarkis yang bisa merusak citra bangsa ini. Bagaimanapun, di luar sana, Malaysia lebih mudah cari muka dibandingkan Indonesia.