“Kamu pasti doyan nulis ya, makanya bisa jadi wartawan?”

Pertanyaan itu menjadi sering didengar oleh saya ketika sudah diterima bekerja sebagai wartawan. Mulai dari hari pertama bekerja, hingga saat sekarang, beberapa teman suka menanyakan hal tersebut.

Jujur, saya suka bingung menanyakan. Sebab kalau ditanya saya doyan nulis, jawabannya mungkin tidak. Apakah ini merupakan bakat, saya sangat ragu untuk menyetujuinya.

Satu-satunya yang saya banggakan dari menulis, sebelum menjadi wartawan, hanyalah saat kelas 5 SD. Saat itu, saya mendapatkan nilai sempurna dalam TPB Bahasa Indonesia, untuk mengarang.

Setelah itu, saya sama sekali tak pernah merasa suka menulis. Hingga kemudian menjadi wartawan saat ini.

Namun, kalau ditanya, “Gimana sih caranya supaya jago atau setidanya bisa nulis?”, saya dengan mudah akan menjawabnya.

Simpel menurut saya kalau sekadar untuk bisa menulis. Kuncinya adalah membaca.


Begini hubungannya… Seorang bayi, sebelum bisa berbicara, harus melalui proses mendengar. Karena bisa mendengar, bayi akan mulai berbicara dengan kata-kata yang pernah didengarnya.

Begitu pula dengan menulis. Seseorang baru bisa menulis jika sudah bisa membaca.

Dalam proses yang lebih kompleks, proses menulis – entah itu sebuah cerita atau karya ilmiah, pasti akan didahulukan dengan membaca. Membaca menjadi pintu pertama untuk bisa menulis.

Laiknya bayi yang tak bisa langsung lancar dalam melafalkan kata-kata yang didengarnya, kita pun tak bisa langsung lancar menulis. Butuh proses yang bergantung pada beberapa hal.

Namun, ada suatu hal yang bisa ditentukan oleh kita sendiri. Seorang bayi bakal cerewet kalo orang-orang di dekatnya menjejalinya dengan beragam kata.

Begitu juga dengan menulis. Semakin banyak kita membaca – tahu rangkaian kalimat yang menyusunnya atau paham mengenai alur penulisannya, akan semakin memperlancar proses menulis.

Jadi, banyak-banyaklah membaca…