PSSI  pernah mencoba melakukan regulasi tentang pembatasan gaji pemain. Namun, pada praktiknya, klub-klub tetap memberikan nilai kontrak tinggi kepada para pemain.

Bukan tanpa alasan jika klub-klub berani memberikan gaji yang sedemikian tinggi. Salah satunya adalah agar sang pemain tidak hengkang ke klub lain.

Berbicara soal kontrak, banyak pemain yang berani mematok harga tinggi. Buat sebagian besar orang, hal itu membuat dahi lebih keras berkernyit. Sebab, harga yang melambung gila-gilaan dinilai tidak logis ketika persepakbolaan nasional justru tengah berada di titik nadir. Namun, jika dilihat dari kacamata ekonomi, pemain yang menuntut mendapatkan nilai kontrak tinggi sah-sah saja.

Penjelasan sahabat saya, Tata Mustasya, seorang peneliti dari The Indonesia Institute, bisa menjelaskan fenomena itu. Sebab, ternyata mereka itu menanggung risiko masa depan, hal yang biasanya sudah diretensi oleh orang yang berstatus pegawai.

Ketika sedang bingung apa yang hendak saya tulis tentang “wajarkah gaji pemain bola Indonesia yang begitu melangit saat ini?”, saya teringat pada sebuah leaders (semacam tajuk rencana) di salah satu edisi majalah The Economist. Soal gaji: ada yang makin sejahtera, ada yang kian terpuruk.

Katanya, kesenjangan gaji di Amerika Serikat semakin parah. Dua puluh tahun lalu, gaji para top manager di sana baru 40 kali rata-rata pendapatan per kapita. Sekarang, sudah 110 kali rata-rata. Orang pun gusar, mungkin juga (sedikit) iri. Yang kaya makin senang, yang miskin terus kere.

Kembali ke gaji pemain bola nasional. Melihat daftar gaji dari PSSI dan PT Liga Indonesia, pemain termahal dalam sebuah klub di divisi utama bisa memperoleh lebih dari Rp1 miliar per tahun. Pemain anak bawang minimal mendapat Rp120 juta per tahun atau sekitar Rp8,5 juta per bulan.

Dan berlakulah hukum pergaulan khas Indonesia: orang lain susah, kita senang. Orang lain senang, kita justru jadi resah. Orang banyak pasti bertanya-tanya sambil cemberut: kerja cuma kejar-kejar dan tendang-tendang bola, kenapa bisa kaya? Bayangkan, garis kemiskinan kita saja masih sekitar Rp200 ribu. Dan, yang berpenghasilan di bawah itu hampir 40 juta orang.

Tapi, marilah kita berpikir secara jernih dan tenang. Apakah ada penjelasan, kenapa pebola nasional bisa kaya raya dibandingkan masyarakat kebanyakan? Atau, salahkah fenomena ini? Saatnya bicara sedikit ilmiah.

Sepak bola merupakan sebuah industri yang -bersama-sama industri lainnya- menyusun sebuah perekonomian. Dalam industri itulah mekanisme pasar (market mechanism) bekerja. Ada permintaan (demand) terhadap pertandingan sepak bola dari masyarakat sebagai potensi pasar. Dari sinilah sumber penghasilan pengelola industri sepak bola muncul, baik melalui penjualan tiket, sponsor, hak siar televisi, dan penjualan merchandise.

Besar tidaknya permintaan masyarakat terhadap industri sepak bola tergantung dari beberapa hal. Pertama, jumlah penduduk. Untuk konteks Indonesia, ada potensi pasar sekitar 150 juta orang (jumlah penduduk dewasa). Kedua, pendapatan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan masyarakat, semakin besar ceruk bisnis sepakbola. Ketiga, selera. Tradisi Indonesia – orang di mana-mana gemar bermain bola – merupakan peluang.

Dalam sistem ekonomi pasar, gaji pemain sebenarnya merupakan turunan (derivation) dari permintaan masyarakat terhadap industri sepak bola. Karena banyak orang menjadi gila bola, mereka datang ke stadion dan membeli tiket. Mereka juga menonton siaran sepak bola di televisi sehingga siaran sepakbola memperoleh rating tinggi dan iklan melimpah.

Perusahaan juga berebut menawarkan harga tertinggi untuk menjadi sponsor sebuah tim. Sementara itu, berbagai macam merchandise juga laku keras. Anak-anak muda yang gila bola mungkin takkan sungkan memakai kaus bertuliskan Bambang Pamungkas atau Eka Ramdani di bagian punggungnya ketika ngapel ke rumah pacarnya.

Dari sinilah pemain mendapat gaji, bonus, royalti, dan bentuk-bentuk penghasilan lainnya. Mekanismenya sederhana: semakin maju dan laku industri sepakbola, semakin kaya raya orang-orang yang terlibat di dalamnya – terutama para pemain.

Pemain profesional di Indonesia pantas digaji tinggi. (Foto: jalu/SOCCER)

RISIKO TINGGI

Kaum libertarian – salah satu pelopornya adalah ekonom terkenal Milton Friedman – memiliki pendapat unik mengenai hal ini. Menurut mereka, konsep ”persamaan dan pemerataan” tidaklah seperti yang dipikirkan kebanyakan orang. Dalam konsep ini, ada dua pilihan persamaan yang bisa kita pilih, jangan serakah mau dua-duanya. Pertama, persamaan kesempatan. Kedua, persamaan hasil.

Dalam banyak hal, saya setuju dengan persamaan kesempatan yang konsekuensinya akan terjadi kesenjangan hasil. Artinya, semua orang diberikan persamaan kesempatan untuk menjadi sukses dan kaya, katakanlah seperti David Beckham atau Ronaldinho. Tidak ada diskriminasi. Namun, hasil atau pencapaian tiap orang akan berbeda-beda tergantung bakat dan kerja kerasnya.

Beckham berlatih tendangan bebas sendirian di luar waktu latihan resmi selama berjam-jam. Nasibnya tentu berbeda dengan seseorang yang sering mangkir latihan.

Persamaan hasil -walaupun terkesan ideal- seringkali tidak adil. Si rajin dan si malas memperoleh hasil sama. Dalam istilah kepegawaian ada istilah ”PGPS” atau ”pintar goblok penghasilan sama”.

Intinya, para pemain nasional dan pemain klub di divisi utama adalah para pekerja keras dan orang-orang berbakat. Mereka mungkin datang dari desa, dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Tapi karena sepak bola tidak mengenal diskriminasi – betul-betul menerapkan persamaan kesempatan – mereka bisa mengubah nasib.

Tidak ada tes wajah dan kulit (seperti bintang sinetron), atau latar belakang keluarga (seperti bisnis penuh kolusi). Jangan iri dengan gaji melangit Ponaryo atau Bambang Pamungkas karena kita pun sebenarnya punya kesempatan yang sama, hanya saja kita tak seberbakat dan bekerja keras seperti mereka.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah konsep high risk, high return. Semakin besar risiko, semakin besar imbalannya. Orang yang memutuskan menjadi pebola adalah pengambil risiko tinggi. Katakanlah jumlah klub di Divisi Utama dan Divisi I ada 60. Maka kuota buat pebola adalah 60 klub dikalikan 22 pemain (sudah ditotal dengan pemain cadangan), sama dengan 1.320 pemain. Itulah pemain yang bisa hidup layak. Selebihnya, hidup berjibaku dengan masa depan yang tidak jelas.

Ini juga bisa menjelaskan, kenapa penghasilan penyanyi, artis sinetron, atau pendakwah terkenal begitu tinggi. Mereka adalah segelintir pengambil risiko yang berhasil. Di industri-industri tersebut, orang tidak bisa hidup dengan menjadi ”orang biasa-biasa”. Bandingkan dengan di dunia kantoran, dengan menjadi nobody atau medioker, tetap bisa – walaupun tersendat-sendat – memiliki rumah dan mobil.

Hal ketiga, pebola di Indonesia Super League atau pemain nasional adalah orang-orang terbaik di industri tersebut. Jadi, jangan bandingkan penghasilan mereka dengan gaji staf, manajer, atau pemilik toko kecil-kecilan. Akan seolah-olah terlihat tak wajar. Bandingkanlah pencapaian finansial pebola tersebut dengan ”yang terbaik” di tiap industri: para CEO perusahaan, presenter terkenal, atau pebisnis di level nasional. Yang terbaik, memperoleh hasil terbaik juga.

Terakhir, marilah kita tengok konsep lifetime income pebola, bukan hanya pendapatan sekarang (current income). Mereka memang memanen uang sekarang tetapi ini hanya akan berlangsung kira-kira dalam 10-15 tahun. Kalau sial – misalnya terkena cedera permanen – bisa bisa lebih pendek lagi.

Untuk menjadi manajer atau pelatih di Divisi Utama dan Divisi I tidaklah mudah karena setiap tim hanya memerlukan satu hingga empat orang pelatih. Jadi, ketika para pegawai kantoran mulai menuai hasil kerja keras mereka pada umur 35-40 tahun, para pebola barangkali sedang menapaki masa-masa sulitnya lantaran sudah tidak ada active income lagi.

Barangkali, kegerahan sebagian dari kita terhadap gaji pebola nasional yang aduhai juga disebabkan oleh tidak cocoknya kondisi ini dengan filsofi-filosofi tradisional kita. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Ini muda-muda kok sudah kaya?