Sudah banyak komentar yang saya dengar tentang Liga Indonesia yang kini bernama Indonesia Super League (ISL). Tentunya, komentar negatif lebih mendominasi sikap beberapa rekan yang sering bersikap nyinyir kala saya memuji Liga Indonesia.

“Ngapain nonton Liga Indonesia, isinya paling kerusuhan melulu.” Atau, “Alah… paling juaranya sudah direkayasa.” Sementara beberapa teman cewek menjawab pendek, “Ah, pemainnya enggak ada yang ganteng. Enggak ada yang enak dilihat.” Dan beberapa komentar-komentar negatif lainnya.

Sikap gengsi dan pandangan jika produk luar negeri selalu lebih baik seolah sudah merata ke semua sendi kehidupan di Indonesia. Termasuk sepak bola.

Banyak fans sepak bola di negeri ini yang bangga mengenakan kostum tim kesayangannya yang berasal dari Inggris atau Italia, bahkan rela mempertaruhkan harga diri ketika tim kesayangannya dihina. Padahal, belum tentu klub yang dipujanya itu punya kepedulian dengan sikap martir fansnya di sini.

Well, tak salah memang dengan sikap pencinta sepak bola itu. Wajar apabila kita memuji sesuatu yang indah atau bagus. Sepak bola tentu merupakan salah satu produk ciptaan manusia yang senantiasa menanamkan unsur keindahan dalam permainannya.

Tapi, salah besar jika pemujaan terhadap sepak bola luar negeri, sampai membutakan realitas sepak bola di negeri sendiri.

Okelah sepak bola di sini tak lepas dari unsur kolusi, nepotisme, hingga korupsi sekalipun. Tapi, itu dilakukan hanya oleh segelintir orang yang mencari keuntungan dari sepak bola namun berkedok seolah dirinyalah yang paling paham bagaimana cara memajukan sepak bola di negeri ini.

Di luar itu, dan beberapa catatan negatif yang ada, banyak hal positif yang telah ditunjukkan kompetisi sepak bola di Indonesia. Bahkan, tidak kalah atau malah melebihi pencapaian liga-liga besar Eropa.

Ambil contoh soal rating dan market share siaran langsung. Dari data yang dibeberkan lembaga riset AC Nielsen, ternyata siaran langsung ISL menempati posisi teratas. Jauh lebih tinggi dari siaran langsung Premier League yang melibatkan Manchester United dan Liverpool sekalipun.

Itu baru satu. Nilai plus kedua adalah dalam tingkat persaingan. Terlepas dari adanya Hand of God yang tak terlihat, tingkat kompetisi ISL menurut saya sangat ketat. Satu level dengan Liga Champions jika harus dikatakan dengan bombastis.

Tak percaya? Data berbicara. Sejak berganti format, tak pernah ada klub di Liga Champions yang berhasil meraih gelar secara berturut-turut, back to back. Ajax Amsterdam, Juventus, dan Manchester United pernah mencobanya, tapi gagal di partai puncak.

Demikian pula dengan Liga Indonesia. Sejak sepak bola amatir dan profesional disatukan, belum ada satu tim pun yang berhasil meraih gelar juara dalam dua musim kompetisi berurutan. Seperti halnya Ajax dan Juventus, Bandung Raya pun pernah mencobanya dan gagal di final.

Arema Indonesia saat mengalahkan Persija Jakarta, akhir musm lalu.

Arema Indonesia, juara ISL 2009-10 (Foto: jalu/Soccer)

Liga Indonesia pun bisa dikatakan seperti Ligue 1, Prancis, salah satu kompetisi yang paling variatif lantaran unsur kejutannya selalu mengejutkan. Terlepas dari dominasi Lyon, Ligue 1 selalu menghadirkan klub-klub baru yang meramaikan persaingan papan atas.

Masih belum percaya dengan kehebatan Liga Indonesia? Tengok data yang dikeluarkan AFC berdasarkan hasil Final Assessment Ranking. Liga Indonesia berada di posisi ke-8 Asia berdasarkan tingkat persaingan, profesionalisme, kemampuan memasarkan, serta status finansial klub – terlepas sebagian besar masih menyusu kepada dana APBD.

Suporter pun menjadi nilai positif dari Liga Indonesia. Banyak pemain asing, terutama yang dari Asia, merasakan antusiasme luar biasa ketika bermain di Liga Indonesia. Mereka menilai suporter di Indonesia begitu hidup, tak seperti negara tempat mereka menetap atau pernah disambanginya.

Memang, masih ada beberapa sisi buruk yang menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggaran kompetisi di negeri ini. Tapi, bukankah liga-liga besar Eropa pun tak pernah lepas dari nilai minus? Tengok saja Calciopoli yang sempat mencoreng wajah sepak bola Italia. Atau perang antarsuporter yang tak pernah berhenti di Liga Argentina.

Sisi negatif memang selalu ada dari sebuah kompetisi sepak bola. Konsekuensi itu selalu ada. Tapi, bukankah itu menjadi salah satu bumbu dari serunya pertandingan dan persaingan di lapangan hijau itu sendiri?

Jadi, marilah dengan bangga berkata dengan lantang, “Inilah  Indonesia Super League. Baik atau buruknya kompetisi ini, tetaplah kebanggaan kami!” Tak perlu malu!