Seperti biasa, saya berangkat ke Jakarta dari Bandung dengan menggunakan bus jurusan Kalideres/Tangerang. Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dari tempat turun bus dengan kantor sehingga bisa dicapai dengan jalan kaki, membuat saya memilih moda transportasi tersebut.

Sedikit berbeda terjadi hari ini. Saya berangkat dari Bandung lebih pagi. Sebab, saya mengejar waktu sampai ke kantor sekitar pukul 9 pagi.

Singkat cerita, saya turun dari bus kemudian jalan kaki menuju kantor. Beberapa meter menjelang kantor, saya melihat seorang bapak setengah baya penjual mainan anak-anak.

Melihat mainan yang dijualnya, mungkin sudah tidak terlalu menarik untuk anak-anak sekarang. Setidaknya, itu adalah pendapat saya.

Bapak-bapak setengah baya itu menjual mainan dari kertas dan gabus. Ada topeng-topengan, ada juga pesawat-pesawatan yang diikat ke lidi dan kemudian diterbangkan angin.

Sejenak, saya iba melihatnya. Saya merasa terenyuh dan berempati dengan niat kuatnya berjualan mainan tersebut. Padahal, jika semuanya mainan itu laku pun, keuntungannya tidaklah seberapa.

Saya pun mendekati dan mencoba membeli kapal-kapalan yang terbuat dari gabus. Si Bapak penjual mainan itu menawari pesawat yang sudah “jadi” dan terikat ke lidi. Tapi, saya menolaknya karena aneh saja jika membawa mainan tersebut ke kantor. Saya kemudian meminta yang belum dirakit.

Sambil berabe memegang barang jualannya, si Bapak kemudian mencoba melepaskan tali rafia yang mengikat di tubuhnya. Terlihat dia kesulitan karena tali yang mengikat plastik berisi pesawat rakitan itu diikat demikian kencang. Tentunya, dia tak ingin barang jualannya hilang, tercecer, atau bahkan terbang karena terlalu ringan. Sebab, itulah asetnya.

Tiga rangkaian pesawat mainan itu dan uang lima ribu rupiah kemudian beralih tangan.

Saya lihat, tak ada yang istimewa dari pesawat yang terbuat dari gabus itu. Bentuknya sangatlah sederhana. Bahkan, tak bisa terbang jika tidak diterpa angin kencang dan diikat lidi. Awalnya, sekali lagi, saya membeli karena empati kepada tekad si Bapak itu berjualan.

Namun sambil berjalan ke arah kantor, ingatan saya kembali terbang ke masa kecil. Saat itu, saya merasa senang bermain mobil-mobilan meski hanya berasal dari kulit jeruk bali. Walaupun, saya sudah punya remote control.

Saya pun teringat anak di rumah. Tentunya, dia tetap akan bahagia dengan pesawat-pesawatan mainan yang dibelikan ayahnya. Apalagi, sehari sebelumnya dia baru saja antusias melihat Bandung Air Show dan berfoto-foto. Saya yakin, meski sudah terbiasa memainkan game pesawat di laptop, dia tetap senang bermain dengan pesawat gabus yang dibelikan ayahnya.

Sejenak saya tersadar. Pola pikir orang dewasa memang kadang menyesatkan. Ternyata, sesuatu yang sederhana pun, di mata anak-anak, bakal menjadi sesuatu yang spesial dan menghadirkan kebahagiaan. Apalagi jika dibelikan sebagai oleh-oleh dari ayahnya yang ditemuinya seminggu sekali.

“Ayah, mana oleh-oleh?” Ucapan anak yang menyambut di depan pintu rumah setiap pulang ke Bandung membuat saya tak kuasa menahan senyum. Saya tak sabar untuk segera menghadiahi pesawat mainan ini kepada dia.

Si Bapak penjual mainan itu ternyata mempunyai keuntungan yang lebih besar dibandingkan laba finansial yang didapatnya. Dia telah memberikan senyum kebahagiaan bagi anak-anak yang membeli mainan darinya.

Kemudian, saya merasa uang lima ribu rupiah yang dibayarkan untuk menggantikan pesawat gabus menjadi sangat kecil dibandingkan kebahagiaan yang dirasakan anak-anak yang mendapatkannya. Ingin rasanya saya memberikan tambahan uang untuknya, atau setidaknya membeli lebih banyak pesawat mainan untuk dibagikan kepada para ponakan.

Saya pun menoleh. Sedikit kecewa, karena si Bapak penjual mainan itu tak ada lagi di belakang saya, ditelan hiruk-pikuk lalu lintas Jakarta yang memang selalu padat.

Kebon Jeruk, 27 September 2010