Ada pelajaran positif yang diraih dari hasil pertandingan persahabatan antara Indonesia dan Uruguay, Jumat (8/10) lalu. Bukan soal kekalahan telak yang menjadi persoalan. Lebih terhadap suara suporter Indonesia yang diwakili puluhan ribu fans, yang hadir di Gelora Bung Karno, tempat laga itu dilangsungkan.

Ada satu koor yang paling jelas ketika Indonesia kebobolan. “Nurdin (Halid) Turun!” Sebuah koor yang juga terdengar saat Presiden Indonesia turun menyalami para pemain kedua tim, sebelum pertandingan.

Menarik disimak suara bulat yang dilancarkan suporter Indonesia. Mereka terlihat sudah jengah dengan prestasi timnas yang sangat stagnan. Tapi, bukan timnas yang menjadi sasaran utama. Melainkan PSSI sebagai induk organisasi tertinggi, yang diketuai oleh Nurdin Halid. Orang yang menjadi sasaran cibiran dan cemoohan fans di Gelora Bung Karno.

“Pernyataan” sikap suporter itu jelas sungguh melegakan. Setidaknya, mereka telah berani menyuarakan suara jutaan orang lain yang menjadi silent majority dalam hal keputusasaan terhadap pengelolaan PSSI, terutama dengan kepemimpinan Nurdin Halid.

Tentunya, suara suporter itu seharusnya punya kekuatan yang luar biasa guna mendesak orang nomor satu di PSSI mundur. Namun nyatanya, Nurdin tetap langgeng di singgasananya, meski puluhan ribu orang sudah menyuarakan supaya dia segera lengser.

Suporter sepak bola Indonesia punya potensi sebagai alat kontrol sosial yang bisa memengaruhi pengambilan keputusan.

Siapa yang salah? Dalam Statuta FIFA yang selalu menjadi tameng PSSI, memang disebutkan jika ketua asosiasi sepak bola di sebuah negara tak bisa dilengserkan kecuali diminta oleh anggota asosiasi itu sendiri.

Lantas, belum cukupkah suara suporter yang diwakili puluhan ribu penonton di Gelora Bung Karno malam itu? Ironisnya, jawabannya adalah belum.

Mengapa? Sebab, suporter tidaklah termasuk unsur yang menentukan nasib ketua sebuah asosiasi sepak bola. Di Indonesia adalah PSSI. Suporter temasuk juga pemerintah ada berada di lingkaran luar dalam pengambilan keputusan sepak bola di tanah air.

Pertanyaan selanjutnya, apakah bisa suporter menjadi penggerak dalam perubahan kepengurusan di sebuah asosiasi sepak bola? Jawabannya bisa.

Bagaimana caranya? Tentunya dengan membuat opini publik yang sangat kuat sehingga para anggota asosiasi, baik pengurus daerah (pengda) atau pengurus cabang (pengcab) mau membuka mata.

Jika memang cukup dengan membuat opini publik, mengapa teriakan di Gelora Bung Karno atau kritikan yang sudah deras mengalir ke tubuh PSSI tak membuat para pengda dan pengcab tergerak hatinya untuk bersuara sesuai hati nuraninya?

Hal itu kembali dengan predikat suporter itu sendiri. Di Indonesia, bisa dikatakan tingkat kedewasaan suporter begitu rendah. Itu yang membuat seringnya teriakan suporter hanya dianggap angin lalu oleh para anggota PSSI.

POTENSI TERBESAR

Ketidakdewasaan suporter di Indonesia sangat jelas tergambar di lapangan. Keributan demi keributan kerap terjadi yang melibatkan suporter di stadion. Tidak puas dengan hasil yang diraih tim kesayangannya, mereka ribut. Merasa diusik komunitasnya, mereka pun bereaksi dengan melakukan tindakan yang tak sepatutnya dilakukan suporter. Tawuran misalnya.

Sikap tidak dewasa itulah yang membuat suporter kadang tak dianggap oleh sebagian golongan masyarakat, yang biasanya bersikap tak peduli dengan sepak boka. Akibatnya, muncul antipati dari golongan masyarakat itu. Setiap ada kemacetan ketika ada pertandingan sepak bola, yang menjadi sasaran disalahkan suporter. Ketika terjadi pelampiasan rasa kecewa usai pertandingan, suporter jualah yang kena getahnya.

Tentunya, pandangan negatif tentang suporter Indonesia seperti dialami golongan masyarakat yang tak peduli dengan sepak bola itu tak boleh melekat. Sebab, idealnya sepak bola adalah sebuah hiburan yang tak hanya dinikmati para pencintanya. Pun memberikan rasa aman bagi orang-orang secara umum. Bukan tak mungkin, golongan masyarakat yang awalnya menganggap miring fans sepak bola, berbalik menjadi pencinta sepak bola setelah para suporter menunjukkan kedewasaan sikap.

Butuh kesadaran sikap dari para suporter di Indonesia. Paling dasar adalah mengerem emosi yang terjadi di pertandingan, tak terbawa hingga keluar lapangan.

Bagaimanapun, kedewasaan itu harus dimulai dari diri suporter itu sendiri. Ingat, suporter adalah jumlah individu terbesar dalam industri sepak bola.

Dengan potensi yang sangat besar itu, suporter tentu bisa menjadi kekuatan untuk menciptakan opini publik dan pada akhirnya memengaruhi sebuah pengambilan keputusan. Syaratnya, tentu saja dibutuhkan kedewasaan!

Kejadian yang terjadi di Manchester pada 1998 bisa dijadikan contoh. Ketika itu, Raja Media Rupert Murdoch berambisi untuk mengakuisisi Manchester United. Dana 625 juta pounds telah disiapkan guna mengambil alih salah satu klub legendaris Inggris itu.

Tapi, fans Manchester United bergerak. Mereka melakukan aksi damai dengan turun ke jalan dengan melakukan protes terhadap usaha Murdoch. Gerakan fans itu kemudian didengar oleh United Kingdom’s Competition Commission yang kemudian mencekal usaha Murdoch mengambil alih kepemilkan MU.

Sikap protes juga ditunjukkan Liverpudlian. Jengah dengan kepemimpinan Tom Hicks dan George Gillett Jr. yang menguasai klub, mereka melakukan aksi protes setiap Liverpool bertanding. Spanduk, pamflet, hingga leaflet berisi penolakan terus disuarakan. Sebuah usaha yang sudah hampir menemui ujung lorong keberhasilan.

Kembali ke tanah air. Sebagai suporter wajar kita menuntut PSSI agar lebih becus mengurusi sepak bola di tanah air. Tapi, suporter pun harus semakin dewasa dalam bersikap. Simbiosis mutualisme. Percuma saja jika misalkan Ketua PSSI diganti, tapi sikap suporter masih kekanak-kanakan. Pembaruan yang diharapkan tentu takkan berjalan mulus.

Jika bersikap semakin dewasa, yakinlah suporter Indonesia akan menjadi kekuatan kontrol sosial yg luar biasa. Tak hanya di sepak bola! Bukan tak mungkin, dengan kedewasaan yang dimiliki, dukungan publik terhadap pembaruan di tubuh PSSI bisa segera terwujud. Tentunya, para pengda dan pengcab itu tak mau dicap sebagai “musuh publik” lantaran berpendapat yang bertolak belakang dengan anggapan umum.

Ketika mata dan hati para pengda dan pengcab itu terbuka lantaran tekanan publik yang sudah demikian besar, yakinlah jika pembaruan di PSSI akan bisa terjadi. Dengan menjadi suporter yang baik dan lebih dewasa, tentunya kita sudah berpartisipasi dalam usaha memajukan sepak bola Indonesia.