Tim nasional Indonesia seolah jalan di tempat. Tak ada prestasi membanggakan yang diraih, justru rasa malu lebih sering diterima.

Terkait dengan kegagalan yang dialami timnas, banyak masyarakat Indonesia yang menjadi pengamat dadakan. Terutama usai kekalahan telak dari Uruguay lalu. Ada yang mengatakan fisik pemain timnas lemah, mental kurang kuat, kemampuan menerapkan zonal marking yang salah, hingga mengutuk kepengurusan PSSI yang tak becus membina sepak bola di negeri ini.

Saya pun termasuk dalam golongan pengamat dadakan seperti yang disebutkan di atas. Sebagai warga negara Indonesia, tentunya saya pun miris melihat performa timnas.

Dari kacamata saya, kegagalan timnas tak lepas dari kemampuan mengumpan para pemain yang belum benar. Menurut saya, mengumpan adalah salah satu teknik dasar yang WAJIB dimiliki seorang pemain bola.

Dengan memiliki kemampuan mengumpan yang baik, skema serumit apa pun dari pelatih, pasti bisa diejawantahkan dengan baik. Paling simpel tentunya saat melakukan penyerangan. Umpan yang baik tentunya akan dengan mudah diteruskan pemain lain untuk melakukan ancaman ke gawang lawan.

Tapi, dalam bertahan pun, kemampuan mengumpan yang baik dan benar tetaplah dibutuhkan. Pemain bertahan tentu takkan terburu-buru dan asal dalam membuang bola jika dibekali kemampuan mengumpan yang baik. Ingat, bola sapuan kadang bisa berbalik mengancam gawang lawan tim penyerang.

Nah, kemampuan mengumpan yang baik itulah yang saya rasakan belum dimiliki oleh para pemain timnas. Misalkan saat menyerang. Sering kita lihat seorang pemain melepaskan umpan yang tidak terukur. Akibatnya, pemain yang menyambutnya harus berlari tergesa-gesa karena harus mencari posisi arah jatuhnya bola. Jelas itu sebuah kerugian mengingat para pemain lawan tentu sudah merapatkan barisan guna mengantisipasi ancaman.

Hal itu pun terlihat saat bertahan. Para defender timnas sering asal dalam menyapu bola. Prinsip mereka, “Terpenting bola dibuang dan ancaman ke gawang bisa hilang.”

Untuk beberapa situasi, hal itu tidaklah salah. Tapi, para bek timnas justru menjadikan sapuan bola sebagai sebuah keharusan. Padahal, ada pemain penyerang yang dalam posisi enak jika diberikan umpan langsung dan melakukan serangan balik mematikan.

Hal itulah yang sangat jarang terlihat dilakukan pemain timnas. Para defender seolah tak percaya diri. Rasa kurang pe-de itu tentunya tak lepas dari kemampuan mengumpan yang benar.

Indonesian goal keeper Markus Horison (C) spits as Uruguay Sebastian Eguren (R) celebrates a goal after scoring for his team during the international friendly match between Indonesian and Uruguay in Jakarta on October 8, 2010. World Cup semi-finalists Uruguay cruised to a 7-1 victory against Indonesia at Jakarta's national stadium.

Lantas, siapa yang salah? Untuk menjawabnya, saya coba mengutip pernyataan Peter Withe, saat diangkat menjadi pelatih timnas senior pada 2004 lalu.

“Masak seorang pelatih tim nasional masih harus memberikan latihan dasar kepada para pemain? Tapi, itulah yang saya lakukan di sini,” komentar Withe saat mempersiapkan tim menjelang Piala Tiger 2004.

Mendengar ucapan Withe, jelas saya terkaget. Bagaimana mungkin seorang pemain timnas tak punya kemampuan dasar yang mumpuni? Jika pemain timnas saja perlu mengulang latihan dasar, bagaimana para pemain klub Divisi I atau amatir?

Menyalahkan langsung kesalahan itu kepada para pemain jelas bukan hal yang bijak. Bagaimanapun, mereka terbentuk dari sistem sepak bola yang sudah ada di negeri ini dengan otoritas tertinggi berada di tangan PSSI.

Soal kemampuan dasar yang kurang, tentunya berkaitan dengan kesalahan dalam sistem pembinaan sepak bola di tanah air. Berbicara soal pembinaan pemain muda, sudah menjadi rahasia umum jika di Indonesia hal itu tidak berjalan.

Jangankan sebuah kompetisi teratur sebagai kawah candradimuka para bibit-bibit muda. Keseragaman modul untuk sekolah-sekolah sepak bola saja tidak ada, bahkan mungkin tak terpikir untuk dibuat. Tentunya, hal itu membuat para instruktur di SSB melatih murid-muridnya sesuai dengan kehendaknya. Mereka tentu tidak salah, lah wong kurikulum resmi seperti halnya pelajaran di bangku sekolah tidak punya?

Akibatnya, tidak ada keseragaman kemampuan dasar yang dimiliki. Hanya SSB-SSB elite saja yang punya modul lengkap dan terstruktur bisa mencetak pebola usia dini yang punya kemampuan dasar baik, meski bukan berarti lantas mereka dibilang istimewa atau lebih baik dari yang di SSB-SSB “tradisional”.

PEMAIN TAK BOLEH MANJA

Ketimpangan lain yang mencolok dari para pemain Indonesia terlihat dari segi fisik. Untuk 30 menit pertama melawan Uruguay, para pemain timnas masih bisa mengimbangi. Tapi setelah itu, ketika fisik terkuras, konsentrasi pun menurun. Gol demi gol Uruguay pun dengan mudah bersarang di jala gawang Markus Haris Maulana.

Jadi, ketahanan fisik pemain Indonesia juga jelek? Tepat sekali. Untuk menjawab permasalahan ini, saya coba mengutip komentar Indra Thohir, mantan pelatih Persib Bandung, yang memang dinilai selalu mengedepankan latihan fisik kepada para pemain. “Fisik itu penting. Percuma punya bakat bagus, tapi enggak bisa bermain selama 90 menit. Dengan fisik yang baik, pemain tak perlu takut kedodoran selama pertandingan. Sebab, secara bakat, mereka sudah punya kok!” tegasnya.

Saya pun teringat dengan Anatoly Polosin. Mantan pelatih timnas Indonesia yang sukses memberikan medali emas SEA Games 1991. Prestasi terakhir dari timnas Indonesia yang membanggakan, menurut saya.

Polosin dikenal keras dalam memberikan porsi latihan. Fisik para pemain terus digembleng. Beberapa pemain sempat ngadat lantaran kecewa dengan sikap keras Polosin dalam memberikan tempaan fisik yang dinilai terlalu berat. Tapi, pelatih asal Rusia itu bergeming dengan sikap manja pemain itu – yang seharusnya tak boleh dimiliki oleh pemain kaliber timnas. Sikap keras kepala Polosin itu pun terbukti dengan medali emas kedua Indonesia untuk cabang sepak bola sepanjang sejarah penyelenggaraan SEA Games.

Siapa yang salah? Tentu saja kembali terkait dengan sistem pembinaan berjenjang di negeri ini. Terlepas dari ketiadaan kurikulum yang jelas, tidak adanya kompetisi yang teratur membuat para bibit-bibit muda itu merasa cukup “sekadar” berlatih. Tanpa tahu tujuan akhir dari latihan itu apa.

“Ah, buat apa saya berlatih capek-capek. Nanti saja ketika mau ada pertandingan, baru tambah porsi latihan.” Mungkin itulah yang ada di pikiran mereka.

Sikap seperti itu bukan tak mungkin juga menjangkit pemain yang sudah mencapai tataran profesional. Waktu kompetisinya saja kadang tidak jelas. Bisa tiba-tiba jadwal atau tempat bertanding berubah, bahkan sering pula  terjadi jeda waktu libur yang sangat panjang. Tentunya, akan membutuhkan waktu lagi bagi para pemain mengembalikan kondisi dan kebugaran fisiknya.

Jadi, sebenarnya timnas Indonesia punya potensi untuk maju? Benarrrr…

Secara bakat sepak bola, tak perlu diragukan lagilah anak-anak kecil di negeri ini. Lagipula, talenta itu bisa diasah. Ambil contoh Jerman. Secara talenta, pemain muda Jerman kalah dalam kemampuan individu dari Brasil. Tapi, dengan ditempa secara baik, Der Panzer bisa menjadi tim yang kuat dan bisa dikatakan sejajar dengan Brasil. Indonesia pun seharusnya bisa mengatasi segala handicap yang ada untuk mencetak prestasi emas.