Negara kita sedang mendapatkan cobaan yang demikian besar. Bencana silih berganti datang menghampiri negeri ini. Paling menyita perhatian adalah tsunami yang terjadi di Mentawai dan letusan Gunung Merapi.

Ada dua tokoh penting yang menjadi sorotan berita dari dua bencana yang terjadi itu. Bukan kebetulan, dua tokoh itu punya nama awalan sama, “Mar”.

“Mar” yang pertama mempunyai suku kata kedua “idjan”. Dialah juru kunci Merapi yang wafat lantaran awan panas yang dikenal warga sekitar sebagai wedhus gembel.

“Mar” yang kedua punya suku kata kedua “zukie”. Bedanya, Si Juki ini meski tak menetap di tempat bencana, namun menjadi sorotan utama pada pemberitaan tsunami di Mentawai.

Apa pasal? Komentar dia terkait dengan bencana di Mentawai begitu menggoreskan luka kepada rakyat Indonesia.

“Tsunami sudah menjadi risiko warga yang tinggal di tepi pantai. Jika tidak mau terkena, ya silakan pindah saja,” komentar Si Juki, begitu Ketua DPR RI itu akrab disapa oleh saya, seperti disarikan beberapa situs berita tanah air.

Sebuah ucapan yang arogan. Tidak mencerminkan status dia sebagai Ketua DPR, yang seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat.

Ucapannya soal tsunami di Mentawai seolah menjadi puncak kekesalan publik kepada Ketua DPR yang katanya memiliki status cum laude saat menyelesaikan program master-nya. Padahal sebelumnya masih segar di ingatan kita pendapat dia yang beranggapan pembangunan kolam renang di halaman DPR adalah sebuah kewajaran.

Kembali ke soal tsunami. Saya coba flash back pada kejadian tsunami di negeri ini pada akhir 2004. Namun, komentar soal tsunami terjadi puluhan ribu kilometer dari negeri ini. Tepatnya di Inggris pada akhir Januari 2005, menjelang penutupan bursa transfer musim dingin.

Rodney Marsh (berdasi ungu) dipecat dari komentator sepak bola Sky Sports lantaran lelucon soal tsunami.

Seorang komentator bernama Rodney Marsh harus mengalami pemecatan dari Sky Sports lantaran leluconnya soal tsunami dan Newcastle United yang memiliki julukan jika dilafalkan nyaris mirip, Toon Army.

Pada program “You’re on Sky Sports”, Marsh bercerita soal penolakan David Beckham pindah ke Newcastle. “”Saya rasa, Beckham menolak pindah karena bermasalah dengan Toon Army di Asia,” ujar Marsh.

Pihak Sky Sports menilai lelucon Marsh itu sudah kelewat batas dan tak termaafkan. Sebuah candaan yang dianggap tak menunjukkan empati kepada ribuan jiwa yang melayang.

Marsh sendiri langsung meminta maaf dan mengakui kekhilafannya, tanpa bermaksud membuat orang lain sakit hati. Toh, putusan sudah diketuk. Sky Sports tak lagi memakai jasanya.

Sebuah lelucon kecil yang hanya satu kalimat dan tidak berkaitan langsung dengan bencana di sini saja, disikapi dengan vonis pemecatan. Sang pemberi komentar pun telah memberikan pernyataan maaf secara terbuka melalui media.

Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Adakah permintaan maaf seperti yang dilakukan Marsh? Tidak ada!

Si Juki malah menyudutkan media yang mengutip. Dia beranggapan para wartawan tak menangkap maksud kalimatnya secara lengkap.

Hmm… kalau memang yang mengutip hanya satu situs berita, okelah, Si Juki pantas berkata seperti itu. Tapi, ucapannya itu ditulis di beberapa situs berita. Setidaknya ada tiga situs berita besar yang mewartakannya.

Sikap defensif dengan menyalahkan media itu pun bukanlah contoh sikap negarawan yang elok. Apalagi, dia adalah ketua lembaga perwakilan rakyat yang mengatas namakan sekitar 200 juta rakyat negeri ini. Malah, bisa dikatakan, sikapnya itu seolah menutupi kesalahan diri yang sudah diperbuatnya.

Salah satu sikap dasar manusia memang tak ingin disalahkan. Dan salah satu cara untuk menutupinya adalah dengan menyalahkan pihak lain.

Jika Rodney Marsh saja yang hanya bermaksud membuat lelucon dengan gagah mau mengucapkan kata maaf, mengapa kata itu tak pernah kita dengar dari ketua dewan yang terhormat di negeri ini?