Nama Cristian Gonzales menjadi pembicaraan paling menarik di persepak bolaan negeri sejak akhir Oktober lalu. Proses naturalisasi menjadi kewarganegaraan Indonesia menjadi penyebabnya.

Ya, striker yang punya julukan El Loco itu menjadi salah satu pemain asing yang direkomendasikan Badan Tim Nasional (BTN) untuk mendapatkan status WNI. Beberapa nama lain macam Jhon van Beukering atau Raphael Maitimo juga masuk daftar rekomendasi untuk dijadikan WNI oleh BTN.

Bukan tanpa alasan BTN mengupayakan nama Gonzales sebagai WNI. Dengan status sebagai top skorer Liga Indonesia sebanyak lima kali, El Loco dinilai pantas mengenakan kostum timnas.

Jika memang alasannya prestasi, saya sependapat dengan keinginan BTN. Meski sudah mulai melewati zaman keemasannya, skill Gonzalez bisa bermanfaat buat timnas Indonesia.

Cristian Gonzales "diuntungkan" politik PSSI dalam proses naturalisasi pemain.

Namun jika dilihat dari kacamata keadilan, saya kurang sepakat dengan naturalisasi tersebut. Benar-benar tidak mengedepankan azas keadilan. Alias pilih kasih.

Ketika negara (baca: PSSI) sedang ada butuhnya saja, buru-buru mau merepotkan diri dengan urusan naturalisasi. Ketika tidak butuh, mereka seolah enggan mengurus legalitas pemain.

Apa pasal? Banyak contoh pemain asing yang sudah lama ingin menjadi warga negara Indonesia. Antonio “Toyo” Claudio contohnya.

Pemain asal Brasil yang kini bermain untuk Persih Tembilahan itu sudah sejak 2006 mengajukan keinginan menjadi WNI. Dan dia tentu sudah mencukupi syarat untuk itu.

Berdasarkan UU Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, seseorang yang telah lima tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut menetap di negeri ini dan punya penghasilan tetap, boleh mengajukan diri untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Toyo bukanlah satu-satunya pemain asing yang ingin melego paspor aslinya demi diakui di negeri ini. Beberapa pebola bahkan atlet lain pun ada yang demikian.

Mundur ke belakang, beberapa atlet bulu tangkis Indonesia juga pernah merasakan sulitnya menghapuskan kata “keturunan” pada status WNI mereka. Padahal, sudah sejak lahir mereka tinggal dan hidup di negeri ini. Dan sudah banyak pula jasa mereka bagi Sang Merah Putih.

Well , atlet barulah segelintir warga negara asing atau WNI keturunan yang mengalami kesulitan dalam proses naturalisasi. Tentu akan lebih banyak lagi mereka dari golongan masyarakat biasa.

Melihat kenyataan itu, praktik tebang pilih alias pilih kasih tampaknya masih menjamur di negeri ini. Tidak hanya pemberantasan korupsi. Proses naturalisasi pun demikian.

Sampai kapankah Bad Corporate Governance berlaku di negeri ini. Entah…