Entah sudah berapa kali orang melakukan posting soal suporter Indonesia. Sudah berulang kali pula mereka menulis pentingnya kedewasaan dalam hal mendukung tim kesayangannya.

Namun, jumlah tulisan itu tampaknya masih kurang banyak. Jika diibaratkan, tulisan yang meminta pendewasaan sikap suporter barulah mengikuti deret hitung. Sementara, sikap antipati terhadap hal yang berlawanan dengan tim kesayangan atau komunitas yang diikuti, begitu menjamur.

Kondisi seperti itu jelas membuat ikrar damai antarsuporter yang beberapa kali didengungkan menjadi sekadar lip service yang manis di bibir. Pada praktiknya, sikap benci terus tumbuh lantaran dipupuk dengan “baik” oleh masing-masing komunitas suporter.

Akibatnya, duel komunitas suporter kini mengalami pergeseran. “Jika dulu mereka saling adu kreativitas dengan menciptakan lagu dukungan, kini bergeser menjadi usaha membuat kata-kata provokatif yang ditempelkan di spanduk, baju, maupun nyanyian,” sebut salah seorang suporter senior asal Jawa Tengah.

Memang demikianlah adanya. Batasan kecintaan segelintir fans yang tergabung dalam komunitas mulai kabur. Tidak jelas siapa yang mereka dukung. Tim kesayangannyakah? Atau lebih membela komunitas tempat mereka bernaung?

Well, azas kebersamaan memang masih dipegang teguh bangsa ini. Sampai-sampai, ejekan terhadap teman harus dibalas dengan ejekan kepada lawan, kalau perlu lebih sadis dan menyakitkan.

Jika sudah begitu, membereskan sikap childish suporter tampaknya bak membereskan jamur pada musim hujan. Tercerabut satu, mekar di beberapa tempat lain.

Padahal, dengan kondisi persepakbolaan di negeri ini, kenyataan itu tak perlulah terjadi. Kenapa? Membahas siapa yang salah dalam perselisihan antarkomunitas suporter tak bakal habis. Sama seperti menjawab pertanyaan mana yang lebih dulu antara ayam dan telur.

Daripada menghabiskan energi untuk hal yang begituan, alangkah baiknya fokus membenahi akar permasalahan negeri ini. Siapa lagi kalau bukan PSSI selaku otoritas sepak bola tertinggi.

Kaus "Aku Berlindung dari Godaan Nurdin yang Terkutuk". (Twitpic @hedi)

Apabila diibaratkan, kondisi sepak bola Indonesia tak ubahnya situasi negeri ini pada 1997-98. Berada pada titik nadir. Pada saat sebelum reformasi itu nilai rupiah mengalami fluktuasi dan kerusuhan sosial terjadi di mana-mana.

Saat ini pun, keributan di sepak bola pun kian menjadi. Ditambah lagi, biaya-biaya di lingkup sepak bola yang meninggi. Ada yang mengatakan jika nilai itu dikatrol agar beberapa pihak mendapatkan keuntungan finansial dari praktik gelap tersebut.

Pada 1998, seluruh lapisan masyarakat bersatu. Prinsip “vox populi vox dei” benar-benar diterapkan. Mereka mempunyai musuh bersama, yaitu pucuk teratas pimpinan negeri ini, untuk digulingkan.

Usaha yang dimotori para mahasiswa itu berhasil, meski menelan beberapa korban. “Sang Raja” turun takhta dan rakyat berpesta.

Dengan kebulatan tekad untuk melawan musuh bersama, seharusnya suporter Indonesia bisa melakukan hal yang dilakukan para mahasiswa dengan mengatasnamakan rakyat pada 1998. Yang dilawan juga pimpinan tertinggi, tapi dalam lingkup otoritas yang berwenang mengurus sepak bola di negeri ini.

Memang, suporter tidak punya pengaruh langsung untuk memecat ketua asosiasi. Campur tangan dalam bentuk apa pun diharamkan. Embargo dari FIFA menjadi sanksinya.

Tapi, tujuan suporter memang bukan untuk langsung melengserkan ketua asosiasi. Mereka hanya perlu membentuk opini publik. Seperti halnya yang dilakukan para mahasiswa pada 1998.

Pembentukan opini publik diharapkan akan membuat sang musuh bersama merasa bersalah dan tersudutkan. Kelanjutannya, tinggal menakar sikap legawa sang musuh publik nomor satu.

Pada 1998, Soeharto cukup berani dengan melepas jabatan presiden dan mengatakan “lengser keprabon madeg pandito”. Bagaimana dengan Nurdin Halid yang menjadi sasaran tembak suporter sepak bola tanah air? Sejauh ini, belum ada tanda-tanda jika Si Daeng mau beranjak dari kursi empuk yang sudah didudukinya.

Andaipun Nurdin akhirnya “rela” melepas kursinya, bukan berarti tugas suporter langsung kelar. Tantangan terberat justru ketika musuh publik nomor satu itu hengkang. Situasi era reformasi negeri ini yang kehilangan arah setelah musuh publik lengser seharusnya bisa dijadikan pelajaran.

Jadi, sudah siapkah suporter Indonesia melepaskan ego masing-masing? Jika sudah siap, marilah kita singsingkan baju dan berpegangan tangan guna menghadapi musuh bersama.

Cukup satu kata, lawan!!!