California, musim panas 2025. Terlihat sosok pria berusia 30 tahunan berbadan gelap sedang berfoto di depan Warner Bros studio. Ternyata, dia adalah Si Ontohod, pemuda asal Kampung Sindangrasa, Ciamis, Jawa Barat, Indonesia.

Lha, sedang apa dia? Bukankah 15 tahun lalu dia hanyalah seorang pengangguran yang sering meracau di bawah pohon kersen? Bagaimana mungkin hanya dalam tempo 15 tahun sudah bisa bergaya perlente dan berwisata ke luar negeri. Menurut kabar, Amerika Serikat adalah negara ke-17 yang dikunjunginya dalam 3 tahun belakangan ini.

Guna mengetahui penyebab perubahan signifikan pada sosok Si Ontohod, marilah mundur ke 2012 atau 13 tahun sebelumnya. Selepas ulang tahunnya yang ke 23, Si Ontohod punya nazar. Jika pada 12 Desember 2012 – lima hari setelah ulang tahunnya – dunia ini tidak kiamat, dirinya akan meneruskan bisnis tempe milik kedua orangtuanya.

Ternyata, gosip kiamat seperti yang digembar-gemborkan film-film Hollywood tidaklah terbukti. Karenanya, Si Ontohod memenuhi nazarnya untuk meneruskan usaha ayahnya. Jadilah dia produsen tempe.

Foto: Dok. Wikipedia

Salah satu keunggulan dari tempe buatan Si Ontohod adalah orisinalitasnya. Alih-alih memakai teknologi seperti para pesaing lain di Ciamis, dia tetap memakai pola tradisional dalam mengupas kulit kedelai, bahan dasar tempe. Yakni, diinjak-injak, bukan menggunakan mesin seperti kompetitornya. “Sentuhan keringat manusia justru akan membuat citarasa tempe menjadi legit,” bilangnya.

Begitu juga pada proses fermentasinya. Dia tak mau memperbanyak inokulum atau ragi yang berbentuk tepung dan berasal dari terigus, beras, atau tapioka. Dia tetap memilih kapang yang tumbuh dan dikeringkan pada daun waru atau jati, meski harus memakan waktu lebih lama.

Nyatanya, keunikan dan cita rasa orisinal dari tempe Si Ontohod ini melegenda. Tokoh tamasya kuliner televisi swasta pun sampai melabelinya tempe goreng buatan Si Ontohod, yang tak ditambahi bumbu apa-apa, dengan kata, “Mak nyuuuss…”

Demand terhadap tempe buatannya meningkat pesat. Permintaan tidak hanya berasal dari Ciamis atau Jawa Barat. Bahkan hingga seluruh pelosok negeri dan negara tetangga.

Bukan hanya produknya yang dicari. Proses pembuatan tradisional dengan menempatkan kaki Si Ontohod sebagai alat pemrosesnya pun menjadi sebuah wisata yang menghasilkan pendapatan sampingan bagi Kampung Sindangrasa.

Kendati doyan meracau, Si Ontohod sosok yang punya rasa sosial kawan tinggi tinggi, cerdas, dan melek hukum. Dia mengajak rekan-rekan tongkrongannya di bawah phon kersen untuk kerja bersama. Dalam pikirannya, 17 pasang kaki tentu lebih baik daripada dua pasang kaki milik sendiri. Jadilah sebuah perusahaan tempe bernama “Ontohod & Co” berdiri.

Dengan nama yang sudah keren itu, Si Ontohod berinovasi dengan mengkreasi beberapa produk turunan tempe. Mulai dari susu, steak, hingga es krim maupun keju. Tak heran, tempe buatannya sudah menembus mal-mal di kota besar dan bersaing dengan makanan khas barat yang sudah lebih dulu eksis. Bahkan, para remaja di kota besar dianggap tidak gaul kalau tidak nongkrong sambil ditemani tempe goreng “Ontohod & Co” plus cengek (cabe rawit).

Foto: Dok. Wikipedia

Si Ontohod juga sosok melek hukum. Dia langsung mematenkan proses pembuatan tempe tradisional, namun dengan nama budaya Indonesia. Dia pun mengajukan proposal kepada Unesco untuk menjadikan proses pembuatan tempe tradisional sebagai world cultural heritage.

“Jangan sampai keduluan Malaysia,” jelasnya kepada para wartawan tentang keberaniannya maju ke Unesco dan menyampaikan proposalnya.

Pada 2018, proposal Si Ontohod akhirnya disetujui Unesco. Tepatnya 20 Oktober 2018. Jadilah tanggal tersebut diklaim sebagai “Hari Tempe Nasional”.

Dua tahun kemudian, putusan genius kembali dibuat Si Ontohod yang sudah menjabat Ketua Asosiasi Pengusaha Tempe Indonesia. “Dengan adanya kawasan perdagangan bebas Asia-Pasifik alias Asian-Pacific Free Trade Area atau disingkat APTA, marilah kita bawa tempe khas Indonesia ini go internasional!” tegasnya.

Maka dimulailah ekspor tempe termasuk produk turunannya ke luar negeri. Indonesia menjadi eksportir tempe tradisional terbesar di dunia yang menguasai 97 persen pasar. Cina dan Jepang yang terbilang negara maju pun rela mengimpor dari Indonesia.

Seperti halnya produksi minyak pada 1970-an, terjadi ledakan penjualan tempe di dunia. “Tempeh Bonanza”. Demikianlah para ekonom dan analis menamakan fenomena yang terjadi.

Pendapatan yang didapat dari ekspor tempe ternyata langsung menyamai devisa sektor minyak dan gas yang sudah lama menjadi primadona. Tak tanggung, lebih dari Rp200 triliun masuk kas negara hanya dari penjualan tempe.

Nilai mata uang rupiah pun langsung terkerek. Rupiah menjadi mata uang utama dunia. Bukan lagi dollar AS, poundsterling, atau euro. Jika dikurskan, nilai Rp1 sama dengan sekitar 10 dolar AS atau 8,5 euro atau 7 pounds.

Karenanya, ekonomi di Indonesia pun maju. Harga-harga memang mengalami inflasi. Tapi, tetaplah terjangkau karena pendapat per kapita Indonesia mengalami peningkatan luar biasa. Mencapai 200 ribu dollar AS per kepala. Jumlah yang bahkan jika pendapatan per kapita Amerika Serikat, Inggris, dan Qatar jika ditambahkan belum mampu mendekatinya.

Para pengusaha tempe kini bak bos-bos perusahaan minyak karena memiliki pemasukan yang besar. Dengan mudahnya, mereka berpelesir ke luar negeri, sekaligus melakukan ekspansi usaha. Sesuatu yang tentu tak pernah terpikirkan oleh para kakek-nenek mereka yang mewarisi pabrik tempe kelas rumahan sebelumnya.

Tingkat pertumbuhan telekomunikasi di Indonesia pun mencapai 100 persen. Kini, setiap orang minimal punya satu ponsel. Dengan harga pulsa yang terbilang “murah” dengan pendapatan per kapita di Indonesia, wajar apabila ponsel sudah menjadi kebutuhan primer. Tak heran, fasilitas telepon umum dihilangkan kecuali untuk di beberapa kota pedalaman yang pada 2025 juga sudah tersentuh oleh teknologi Wi-Fi.

Salah satu yang menikmati kekayaan itu adalah Si Ontohod. Dengan gayanya dia berjalan-jalan di Los Angeles dan mampir ke butik-butik ternama macam Louis Vuitton, Bally, atau Armani demi melampiaskan kepuasan pribadi, meski sebenarnya segala barang-barang itu tidaklah dibutuhkan. Sebab, Si Ontohod tetaplah lebih suka bercelana pendek, kaos oblong, dan menyelempangkan sarung ke tubuhnya jika duduk di teras rumahnya. Harga ratusan ribuan dollar produk tersebut menjadi murah karena jika dirupiahkan menjadi sepersepuluhnya.

Amrik menjadi negara terakhir dari periode wisatanya. Dia mengakhiri wisatanya di negara tersebut dengan bertemu Peter Jackson, sutradara favoritnya, yang ingin membuat film tentang kisah sukses dirinya. Dengan enteng, Si Ontohod pun siap menjadi produser tunggal dari film tersebut.

Dia kemudian menuju LAX atau Los Angeles Airport guna terbang kembali ke Indonesia. Menggunakan Garuda Indonesia Airways yang kini menjadi maskapai termewah dan teraman di dunia. Sebagai langganan, dia selalu mendapatkan sambutan selamat datang dari para pramugari dan pilot yang bertugas. Kendati demikian, Si Ontohod tetaplah memilih kursi kelas ekonomi paling belakang dekat kaca. Sebab, di situlah dia pertama kali duduk naik pesawat saat memenangi lomba “Andai Aku Obama” yang diselenggarakan US Embassy pada 2010.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, Si Ontohod mendarat di tanah air. Dia memang tak meminta dijemput karena sadar kesibukan para karyawannya.

Namun, sesampainya di pintu keluar bandara, muka Si Ontohod mendadak pucat. Rona muka yang berubah tak lepas dari sisa uang di dompetnya yang tinggal 1.000 dollar. Dia memang sengaja hanya membawa kartu kredit dan menyimpan kartu ATM kepada istrinya, yang tetap berada di Kampung Sindangrasa guna mengawasi pabrik, karena siapa tahu ada kebutuhan mendadak.

Berjalan gontai, Si Ontohod melangkah ke Money Changer yang ada di samping Terminal 2 Soekarno-Hatta. Uang 500 dollar itu ditukar menjadi Rp47 ribu rupiah.

Si Ontohod bengong melihat jumlah uangnya setelah ditukar dengan rupiah. Jumlah itu tidaklah cukup untuk sekadar naik bus pemandu moda ke Bandung dengan harga tiket Rp500 ribu. Jumlah uang di tangan Si Ontohod itu bahkan tidak cukup untuk ongkos Bus Transjakarta, yang bisa mengantarkannya ke seluruh pelosok Jakarta dari bandara, seharga Rp50 ribu.

Terpaksa, Si Ontohod yang pengusaha tempe itu menggadaikan seluruh oleh-oleh yang dibelinya di Amrik kepada beberapa orang yang berminat. “Tak apa-apa sekarang tak bawa oleh-oleh yang penting bisa pulang. Toh, dengan nilai rupiah yang sangat kuat ini, saya bisa pergi ke mana pun dengan sering,” gumamnya.