Piala AFF 2010 menimbulkan euforia baru. Rakyat Indonesia mendapatkan dua kehagiaan luar biasa melihat sepak terjang tim nasionalnya di kejuaraan antarnegara se-Asia Tenggara itu.

Kebahagiaan pertama tentunya melihat penampilan Firman Utina dkk. Performa memikat di atas lapangan hijau dengan meraih kemenangan besar seolah memberikan kebahagiaan semu terhadap rakyat negeri ini yang sudah dahaga selama 19 tahun.

Ya, dikatakan kebahagiaan semu karena sebenarnya timnas belumlah menjadi yang terbaik dan meraih gelar juara. Prestasi yang terakhir kali diraih pada SEA Games 1991.

Euforia kedua timbul dari sosok pemain bermomor punggung 17 di tim Merah-Putih. Dialah Irfan Bachdim.

Irfan menjadi fenomena baru sepak bola di negeri ini. Penampilan memikatnya pada laga melawan Malaysia dan Laos membuat publik langsung mengelu-elukannya. Bermodal wajah “indo” laiknya pemain sinetron, Irfan langsung menjadi pujaan para remaja putri.

Indonesia's Irfan Bachdim (C) challenges Laos' Khamla Pinkeo (L) during their qualifying round match at ASEAN Football Federation (AFF) Suzuki Cup 2010 soccer tournament in Jakarta December 4, 2010. REUTERS/Beawiharta (INDONESIA - Tags: SPORT SOCCER)

Tak hanya itu. Media-media di negeri ini seolah latah dan langsung membuat pemberitaan besar-besaran seputar Irfan. Tak ketinggalan, para pekerja infotainment.

Hampir tiap hari, nama Irfan masuk menjadi tajuk pemberitaan di infotainment. Mulai dari sisi sepak bolanya yang sempat ditolak Persib Bandung dan Persija – dan ironisnya diambil dari YouTube, sampai ke pacarnya yang tengah berada di Jerman,  Jennifer Kurniawan. Sosok  yang tak lain adalah kakak dari Kim Jeffrey Kurniawan, calon pemain keturunan lain yang disiapkan PSSI untuk membela timnas.

Ketenaran Irfan merambah hingga ke dunia maya. Pada situs microblogging Twitter, Irfan Bachdim berkali-kali menjadi Trending Topic alias nama yang paling sering ditulis dalam tweet para user twitter.

Sebuah fenomena yang bisa dikatakan wajar karena Indonesia diklaim sebagai The World’s biggest Twitter addict oleh Asian Correspondent. Jadi, setiap ada fenomena tertentu dari negeri ini, hampir pasti akan menjadi trending topic.

Terkait dengan sosok fenomenal di Piala AFF (d/h Piala Tiger), saya jadi teringat sosok Boaz Solossa di Piala Tiger 2004. Saat itu, ketika masih baru 18 tahun, dia menjadi fenomena baru di lapangan hijau. Aksi-aksinya begitu memukau. Tak heran, ketika dia mendapatkan cedera pada final pertama melawan Singapura, banyak yang berkaca-kaca menahan kesedihan.

Saya pun berandai-andai, membayangkan Twitter sudah populer di Indonesia pada akhir 2004. Apakah fenomena Boaz di Piala Tiger tahun tersebut akan menjadi trending topic seperti halnya Irfan Bachdim di Piala AFF 2010?

Saya cukup ragu untuk meyakininya. Saya melihat, budaya sinetron yang mendewakan para pemain berwajah “indo” telah merembet ke lapangan hijau. Fenomena Irfan Bachdim menjadi bukti nyata.

Saya jelas tidak antipati atau meremehkan sosok Irfan. Dia tetaplah pemain potensial untuk kemajuan sepak bola negeri ini, sekarang dan nanti. Tapi, saya melihat peran Irfan tidaklah lebih dominan daripada pemain lain. Oktovianus Manniani, M. Ridwan, dan Firman Utina punya kontribusi yang tak kalah besar.

Yang saya salahkan hanyalah stereotipe publik negeri ini. Stereotipe yang menganggap jika orang bule selalu “lebih” daripada sosok pribumi. Termasuk lebih hebat, lebih ganteng, dan lebih-lebih lainnya. Padahal, belum tentu demikian.

Tanpa disadari, sebenarnya kita juga mengalami kendala stereotipe itu. Setiap bertemu orang bule, tak sengaja kita memanggilnya dengan “Sir”. Padahal, itu adalah kata sandang untuk sosok ningrat di negeri monarki Inggris. Dengan memanggilnya “Sir”, seolah kita berada di posisi yang lebih bawah dari bule itu.

Stereotipe seperti itulah yang sebenarnya membuat kemajuan negeri ini berjalan tidak secepat Cina misalnya. Rakyat ini negeri masih selalu terpukau dengan ekspatriat.

Sekali lagi, saya tegaskan, jangan salahkan Irfan Bachdim. Dia hanyalah “korban” dari stereotipe masyarakat negeri ini.