Kemenangan Indonesia atas Thailand pada laga pamungkas Grup A Piala AFF 2010 tentu menjadi momen yang membanggakan bagi rakyat Indonesia. Khususnya 14 pemain yang turun bertanding di hadapan 65 ribu penonton di Gelora Bung Karno.

Keempat belas pemain itulah yang menjadi pahlawan sesungguhnya pada kemenangan kedua Indonesia atas Thailand di Piala AFF. Bukan hasil dari Arif Suyono atau Bambang Pamungkas yang membawa angin perubahan pada babak kedua.

Dari dua nama itu, Bambang atau biasa dipanggil Bepe boleh sedikit dikedepankan. Penampilan dia malam itu bukan yang terbaik mungkin. Tapi, Bepe telah menunjukkan kekuatan mental seorang bintang yang dimilikinya.

(L-R) Indonesia's Ahmad Bustomi, Bambang Pamungkas and Irfan Haarys Bachdim celebrate after beating Thailand during their qualifying round soccer match at the 2010 ASEAN Football Federation (AFF) Cup soccer tournament in Jakarta December 7, 2010. REUTERS/Supri (INDONESIA Picture Supplied by Action Images)

Jika melihat latar belakangnya, Bepe bisa dikatakan membawa banyak “beban” di pundaknya. Pertama, tak sedikit yang menilai jika dirinya sudah habis. Gaya bermain dia yang terkesan “malas” pun tak lepas dari kritikan.

Nama dia sempat terbenam oleh pesona Irfan Bachdim yang mencetak gol ke gawang Malaysia dan Laos. Alasan kedua, Bepe masuk pada kondisi timnas tengah tertekan oleh Thailand.

Selang berapa lama, timnas mendapatkan penalti. Sebuah penalti yang sangat bernilai karena menentukan nasib dan gengsi Indonesia pada laga itu.

Sepintas, tendangan penalti terlihat mudah karena hanya pertarungan satu lawan satu dengan kiper lawan. Peluang terciptanya gol menjadi 90 persen.

Tapi, pada kondisi tertentu, tendangan penalti tak ubahnya pasir hisap yang bisa membuat sang algojo tertelan rasa bersalah luar biasa. Kisah David Beckham di Piala Eropa 2004 atau John Terry di final Liga Champions 2008 bisa dijadikan contoh.

Penalti dalam kondisi seperti itu terlihat gampang tapi justru penuh jebakan. Termasuk ketika Indonesia mendapatkan penalti pertama pada laga melawan Thailand.

Untuk menjadi algojo penalti pada laga yang menguras fisik dan pikiran tersebut, dibutuhkan ketahanan mental yang luar biasa. Butuh lebih dari sekadar teknik tendangan yang bagus untuk melakukannya.

Dan, Bepe membuktikan diri termasuk dalam kategori pemain “kuat” tersebut. Dia sukses menjebol gawang Thailand untuk kembali memantik semangat rekan-rekannya yang sempat kendur setelah tertinggal.

Bepe jualah yang mencetak gol penentu kemenangan sekaligus mempersembahkan kegembiraan bagi jutaan rakyat Indonesia. Luapan emosi pun meledak, termasuk kepada sang pemain.

“Semalam, secara fisik saya masih merasa bugar. Akan tetapi 2 pinalty itu, secara psikologis membuat emosi saya terkuras habis tidak tersisa,” tulis Bepe di akun twitter miliknya, @bepe20, sehari setelah pertandingan.

Benar. Laga melawan Thailand malam itu memang tak hanya menguras energi pemain di lapangan. Energi dari ribuan orang di Senayan dan jutaan rakyat negeri ini pun ikut mengalir ke lapangan hijau untuk menyemangati 11 pemain yang membela panji Merah-Putih.

Tweet Bepe itu pun menjawab alasan dirinya tak bisa berkomentar banyak usai pertandingan. Sampai-sampai, ada wartawan yang kesal lantaran keinginan untuk mewawancarai dirinya gagal.

(Well, my opinion, kita semua tak bisa memperlakukan sama. Tanyalah pada diri sendiri. Ada kalanya, diri kita pun dalam keadaan capek dan tak bisa bersenda gurau seperti biasanya. Namun, teman sekitar tak tahu bahkan tak peduli dengan yang dialami.

Lain itu, secara personal saya tahu karakter Bepe. Dia sebenarnya orang yang welcome dan mau diwawancarai. Salah satunya adalah usai kekalahan dari Korea Selatan pada Piala Asia 2007 lalu. Dari semua pemain yang lewat di mixed zone, cuma Bepe yang mau memberikan komentar.

Lagipula, secara judul, tulisan di artikel tersebut tak mengikuti EYD. Acuh dalam KBBI berarti memedulikan, tapi artikel tersebut merujuk pada ketidakpedulian. Tak berapa lama, judul artikel itu pun diubah hehehe…

Artikel Bambang Pamungkas di salah satu media online nasional.

Bepe juga sosok yang sadar akan peraturan. Misalnya, saat jumpa pers merupakan momen yang tepat untuk melakukan tanya jawab. Pada saat itulah, dia bakal menjawab segala pertanyaan.

Dan anehnya, tampaknya sudah menjadi budaya di sini, jarang orang yang mau memanfaatkan sesi jumpa pers. Justru ketika jumpa pers berakhir, ramai-ramai orang mengerubuti pemain untuk wawancara personal.

Tak banyak pemain Indonesia yang sadar aturan FIFA seperti Bepe. Bukan hanya pemain sih… Wartawan sini pun banyak yang kurang memahami aturan. Seperti halnya di mixed zone yang dilarang mengambil foto. Nyatanya, banyak yang melanggar.)

Kembali ke pokok pembahasan. Buat yang berpendapat Bepe sudah habis, marilah kita lihat sepak terjang Juergen Klinsmann bersama timnas Jerman pada Piala Eropa 1996. Saat itu, usia Klinsmann sudah mencapai 32 tahun. Usia yang dianggap sudah habis untuk kategori striker.

Tapi, Berti Vogts punya alasan lebih kuat memasukkan nama Klinsmann pada daftar pemain untuk final melawan Rep. Ceko. Jiwa kepemimpinan. Ya, aspek itulah yang dibutuhkan Der Panzer dari sosok Klinsi.

Jiwa kepemimpinan jualah yang diharapkan pelatih Alfred Riedl. “Bambang akan selalu menjadi pemimpin tim ini, tak perlu diragukan lagi. Bermain atau tidak, dia adalah pemimpin tim ini,” jelas Riedl sebelum perhelatan Piala AFF 2010.

Terlepas dari ucapan Riedl, Bepe tetaplah pantas dihormati sebagai pahlawan sepak bola negeri ini. Bagaimanapun, dialah yang saat ini memegang caps dan rekor gol terbanyak untuk Tim Garuda. Sebuah catatan yang harus menjadi acuan bagi para striker baru timnas. Jangan mau sekadar menyamai. Tapi harus bisa melebihi!

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,” kata Bung Karno. Tentunya, termasuk para pahlawan di lapangan hijau.

NB: Mohon maaf kalau ada yang merasa tak enak hati dengan tulisan ini. Bukan saya membela Bepe atau memujanya. Ini semua hanyalah sikap subjektif saya. Dan, wajar kalau ada yang suka atau tidak suka. Seperti juga dengan sikap Bepe itu :p