Selasa, 7 Desember 2010, sore di kawasan olahraga Senayan. Tak seperti pada dua laga sebelumnya melawan Malaysia dan Myanmar, jumlah fans yang menyemut menuju Gelora Bung Karno pada laga pamungkas Piala AFF 2010 antara timnas Indonesia dan Thailand begitu luar biasa.

Begitu masuk stadion, ada antusiasme luar biasa dari fans. Hampir seluruh sektor di stadion terbesar di Asia Tenggara itu penuh sesak oleh suporter Indonesia. Sebuah pemandangan yang terakhir kali terlihat pada laga pamungkas Grup D, Piala Asia 2007, antara Indonesia dan Korea Selatan.

Fenomena tersebut terbilang sedikit “aneh”. Mengingat, Indonesia sudah memastikan lolos. Juara grup pula. Otomatis, laga melawan timnas sore itu hanyalah pemenuhan kewajiban timnas untuk menyelesaikan seluruh laga Grup A.

Namun, setidaknya ada dua pembenaran dari jumlah penonton yang ditaksir lebih dari 60 ribu jiwa. Pertama, tanggal tersebut bertepatan dengan hari libur nasional. Kedua, lawan yang dihadapi adalah Thailand. Tim yang dianggap musuh bebuyutan timnas Indonesia – meski sebenarnya Thailand menganggap kita sama dengan Singapura, Vietnam, atau bahkan Malaysia.

Namun, tak sedikit pula yang mengkritisi anomali tersebut. Gotcha Michel salah satunya. Dia lantas membandingkan laga tersebut dengan semifinal Piala AFF 2008, juga melawan Thailand.

“Jika alasannya Thailand, pada ke mana mereka dua tahun lalu?” sindir perempuan suporter yang rajin menonton langsung pertandingan di Gelora Bung Karno itu.

Dari suporter yang hadir pada laga ini, terlihat memang banyak yang benar-benar “baru” merasakan atmosfer pertandingan. Termasuk salah seorang suporter di sebelah saya yang terheran-heran ketika sebagian fans menyalakan flare. “Wah, kok ada bakar-bakaran. Nanti malah kebakaran lagi,” ujar seorang pria berusia sekitar 30 tahun itu.

Ucapan itu jelaslah tidak dibuat-buat. Spontanitas dan terlihat kagum bercampur heran dengan fenomena flare. Padahal, hal itu sudah biasa terjadi pada laga-laga domestik.

Bukan hanya suporter ternyata. Beberapa pekerja media juga memanfaatkan fenomena itu dengan memanfaatkan kemudahan akses melalui statusnya profesinya. Padahal, tak semua dari mereka yang memiliki ID Card resmi turnamen yang dikeluarkan oleh AFF. Terlihat di salah satu baris meja di tribun media, dipenuhi oleh jurnalis dari salah satu stasiun televisi swasta nasional.

Begitu juga dengan pihak keamanan. Hampir semua lebih memilih menyaksikan jalannya pertandingan dibandingkan mengawasi kemungkinan ada kericuhan di antara para penonton.

“Keanehan” itu tentu merupakan sebuah fenomena yang menarik. Jarang sekali tim nasional mendapatkan dukunga sedemikian besar dari suporter yang datang langsung ke stadion.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan fenomena itu terjadi. Paling utama tentu saja prestasi timnas yang tengah berada di “atas”. Sudah lama rakyat negeri ini menantikan prestasi. Dan, mereka merasa saat ini adalah momen kebangkitan timnas yang terakhir kali meraih prestasi bergengsi pada SEA Games 1991.

Sosok Irfan Bachdim tak bisa dipungkiri menjadi magnet luar biasa. Terutama untuk mengundang perempuan suporter, yang sebenarnya banyak dari mereka tak terlalu mengikuti perkembangan timnas. “Aduh, dia ganteng banget. Jarang-jarang ada pemain bola kita yang ganteng,” sebut salah seorang aktris sinetron remaja dalam salah satu tayangan infotainment.

Faktor ketiga adalah budaya latah atau ikut-ikutan. Alasan ketiga inilah yang sebenarnya menjadi dasar dari dua faktor sebelumnya.

Kemenangan besar timnas plus sosok Irfan telah menjadi pembicaraan. Mulai dari level kantoran hingga warung kopi di pinggir-pinggir pasar. Ketertarikan dan antusiasme dari para pencinta sepak bola fanatik itu telah menular kepada lingkungan sekitar dia yang sebelumnya tak begitu tertarik.

An Indonesian supporter holds a torch as he watches the ASEAN Football Federation (AFF) Suzuki Cup 2010 soccer tournament qualifying round match between Indonesia and Malaysia in Jakarta December 1, 2010. REUTERS/Beawiharta (INDONESIA - Tags: SPORT SOCCER)

Ibarat efek domino, jumlah fans dadakan sepak bola ikut meningkat. Mulai dari tertarik melihat sosok Irfan, membeli jersey timnas baru yang memang keren, sampai rela menonton langsung pertandingan ke stadion.

Tak ada yang salah dengan budaya ikut-ikutan itu. Toh, banyak dari kita yang menempatkan alasan tersebut sebagai motivasi dasar melakukan sesuatu. Misalnya, ada orang yang mendadak rajin shalat karena mengetahui pacarnya seorang yang alim. Contoh lain, banyak dari kita mengikuti potongan rambut spike lantaran tengah nge-hype di kalangan pemuda.

Budaya ikut-ikutan itu bisa menjadi bagus jika mendorong kepada hal positif. Mendukung timnas termasuk sisi positif tentunya.

Yang seharusnya dihindarkan adalah jangan sampai kecintaan terhadap timnas itu hanya berlangsung sesaat. Hanya karena ada Irfan, hanya karena berprestasi, atau hanya karena pacar tertarik. Ketika semua itu hilang, melunturlah semua kecintaan kepada timnas yang telah terbentuk.

Itulah yang tak boleh terjadi. Bagaimanapun, baik atau buruknya performa timnas, kita harus berada di belakangnya. Janganlah kita mencaci timnas kalau kita hanya mendukungnya pada saat berprestasi. Justru, pada saat berada di titik nadirlah, dukungan dari suporter begitu dibutuhkan.

Dukungan itulah yang kini dibutuhkan timnas Indonesia. Ayo, pertahankan terus semangatmu mendukung Tim Garuda. Bukan karena Irfan, bukan karena Bambang Pamungkas, dan bukan juga karena prestasi sesaat yang terjadi.

Tapi, dukunglah timnas karena kecintaan kita. Karena kecintaan kita sebagai bangsa Indonesia.

Cinta itu bukanlah dibuat. Tapi dilahirkan. Jadi untuk menimnbulkan kecintaan kepada timnas, diperlukan sebuah proses. Budaya ikut-ikutan merupakan salah satu proses kelahiran tersebut. Toh, kita akan rela-rela saja mengikuti pola kegiatan orang yang disukai meski pada dasarnya belum atau bahkan tidak melakukannya.

Jadi buat yang memang mencintai timnas karena ikut-ikutan, janganlah merasa salah. Terpenting adalah bagaimana memelihara agar rasa itu tetap tertanam.

Indonesia… Dung.. Dung… Dung.. Dung.. Dung…