Pukul tiga sore hari di jalan yang belum jadi…
Aku melihat anak-anak kecil telanjang dada…
Telanjang kaki asyik mengejar bola…
Kuhampiri kudekati lalu duduk di tanah…
Yang lebih tinggi…
Agar lebih jelas lihat dan rasakan…
Semangat mereka, keringat mereka…
Dalam memenangkan permainan…
Ramang kecil Kadir kecil…
Menggiring bola dijalanan…
Ruly kecil Ricky kecil..
Lika-liku jebolkan gawang
..
(Mereka Ada di Jalan, Iwan Fals)

Awal Oktober lalu, fans sepak bola di tanah air dibuat heboh oleh rencana PSSI. Otoritas sepak bola tertinggi di tanah air itu mendatangkan timnas Uruguay untuk menjadi lawan tanding timnas Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 8 Oktober 2010.

Fans sepak bola Indonesia tentu saja antusias. Uruguay adalah semifinalis Piala Dunia 2010 lalu yang diselenggarakan di Afrika Selatan. Apalagi, Asosiasi Sepak Bola Uruguay dan panitia pelaksana pertandingan telah menjanjikan jika Uruguay bakal datang dengan kekuatan penuh. Artinya, bintang-bintang tenar macam Pemain Terbaik Piala Dunia, Diego Forlan, akan datang bersama tandemnya di lini depan Edinson Cavani dan Luis Suarez.

Tapi, antusiasme suporter tidak hanya disebabkan oleh kehadiran para bintang Piala Dunia itu. Dari timnas Indonesia sendiri akan menjanjikan sesuatu yang berbeda. Bakal ada wajah-wajah baru yang menghiasi Tim Merah Putih. Mereka adalah pemain asal Belanda yang mempunyai darah Indonesia.  Jhon van Beukering, Jeffrey de Visscher, Guillermo Raphael Maitimo, dan Sergio van Dijk. Empat pemain itulah yang diuji coba dan dibujuk oleh PSSI untuk berseragam Merah-Putih.

Namun, usaha menampilkan mereka gagal. Entah siapa yang tak tahu aturan main, lantaran tak mau hasil laga melawan Uruguay dianggap sebagai sebuah laga testimonial, PSSI akhirnya tetap menurunkan timnas yang sesungguhnya saat menghadapi Uruguay. Hasilnya bisa ditebak. Tim Merah Putih kalah telak dari La Celeste.

Kesuksesan Cristian Gonzales dan fenomena Irfan Bachdim di Piala AFF 2010 membuat PSSI berencana untuk meneruskan langkah tersebut. Kim Jeffrey Kurniawan rencananya akan diberikan paspor Indonesia. Beberapa pemain yang gagal dipakai pada laga melawan Uruguay kembali didekati. Melihat kontribusi Gonzales, PSSI juga berencana menaturalisasi Victor Igbonefo dan Seme Pierre Patrick.

Melihat cara PSSI dengan mencoba melakukan pendekatan kepada para pemain keturunan dan asing untuk membela timnas Indonesia tampaknya ditiru dari negeri tetangga, Singapura. Negeri tersebut dalam satu dekade terakhir memang gencar melakukan proses naturalisasi kepada para pemain asing agar bisa dipakai timnas sepak bolanya.

Langkah Singapura itu terbilang jitu. “The Lions”, julukan timnas Singapura, merasakan kejayaan di level Asia Tenggara. Negara tersebut beberapa kali menjadi yang terbaik di ajang Piala Asia Tenggara (AFF Cup). Sebuah prestasi yang sama sekali tak pernah dibayangkan oleh Indonesia, Thailand, maupun Malaysia yang sebelumnya merupakan kekuatan tradisional sepak bola di Asia Tenggara.

Tentunya, PSSI tergiur dengan kebijakan Asosiasi Sepak Bola Singapura (FAS) itu. Karenya, rahun ini ramai-ramai para pengurus PSSI membuat daftar pemain di luar negeri yang kira-kira punya setetes darah Indonesia. Harapannya, timnas Indonesia bisa kembali berprestasi dan disegani lagi di Asia Tenggara.

Tapi, tepatkah langkah PSSI meniru FAS dengan berusaha melakukan proses naturalisasi pemain? Untuk jangka pendek, kebijakan itu bolehlah dikatakan sebagai sebuah solusi. Meski, belum tentu bakal tepat guna. Toh, penampilan memukau timnas di Piala AFF 2010 bukan berkat Irfan Bachdim atau El Loco Gonzales semata. Tapi berkat seluruh tim, termasuk pelatih Alfred Riedl yang terbilang genius untuk menggonta-ganti strategi pada tiap laga.

Kembali pada soal keinginan menaturalisasi. Kebijakan PSSI itu tampaknya terburu-buru. Okelah misalkan para pemain “asing” itu sukses membawa Indonesia kembali disegani. Tapi, untuk berapa lama? Dengan umur yang sebagian besar sudah melewati 25 tahun, para pemain itu tentunya tak bisa diharapkan untuk membela timnas dalam waktu yang lama.

PSSI juga telah salah mencontek mentah-mentah kebijakan FAS guna membentuk timnas Singapura menjadi tangguh. PSSI hanya melihat yang tergambar di lapangan, bahwa The Lions adalah tim multietnis. Namun, PSSI tak melihat gambaran besar dari kebijakan FAS tentang pembentukan timnas.

FAS telah mempunyai konsep integral dalam pembentukan timnas. Mereka punya Junior Centre of Excellence. Junior COE adalah program pengembangan usia dini yang berjenjang untuk anak-anak usia 8 tahun hingga 16 tahun.

Dengan adanya Junior COE, Singapura untuk jangka waktu 5-10 tahun mendatang sudah tak lagi butuh pemain asing untuk dinaturalisasi. Sebab, mereka sudah mencetak bibit-bibit unggul pesepak bola di masa depan.

Tak heran, seperti dikatakan Dejan Gluscevic – mantan pemain Bandung Raya yang kini menjabat sebagai Asisten Direktur Teknik di Junior COE, Singapura berani menargetkan masuk 10-besar Asia pada 2015 mendatang, lalu bertahap menuju pentas dunia. Suatu utopia yang sebenarnya sudah dicanangkan PSSI sejak awal 1990-an, namun hanya sebatas konsep yang tak terlihat hasil konkretnya di lapangan.

Penurunan prestasi Singapura di Piala AFF 2010 bisa jadi terkait dengan kebijakan tersebut. Bekas negara jajahan Inggris itu seolah menyembunyikan potensi masa depan yang tak diperlihatkan di Piala AFF 2010 ini. Buktinya, Radojko Avramovic masih mengandalkan muka-muka lama yang sukses meraih gelar 6 tahun lalu. Bisa jadi, Raddy masih menunggu para pemain jebolan COE yang akan matang pada penyelenggaraan dua atau empat tahun mendatang.

The World Cup 2010 fever have encouraged children to play football during the Tlatah Bocah Art Children Festival 2010, and use traditional dance equipment, jaran kepang, with the game. Muntilan, Magelang District. Indonesia. 04/07/2010

Ramang Kecil, Kadir Kecil

Program Junio COE itulah yang “hilang” dalam kebijakan pembentukan timnas Indonesia oleh PSSI. Dulu, kita punya Piala Suratin, Piala Pelajar, hingga terakhir Piala Medco untuk para pesepak bola usia sekolah. Tapi, hanya sebatas turnamen musiman. Tidak ada jenjang kompetisi yang jelas dan kontinu.

Jangankan berharap melihat para pesepak bola muda itu mendapatkan kompetisi berjenjang ke tingkatan umur selanjutnya dan punya pusat pembinaan khusus. Berharap turnamen itu ada tiap tahun pun sudah makan hati.

Kompetisi untuk usia muda hanyalah bersifat musiman. Syukur kalau diadakan, tapi jika tak diadakan pun para pencinta sepak bola di tanah air pasti akan langsung memakluminya. Sebab, pembinaan usia dini masih dipandang sebelah mata oleh para pengurus PSSI. Mungkin, karena uang yang “dihasilkan” dari ajang tersebut tidaklah besar.

Ketiadaan pembinaan usia dini di sepak bola tentunya mengkhawatirkan. Karenanya, PSSI mencoba membela diri dengan memakai jasa pemain “asing” guna membantu mendongkrak prestasi timnas Indonesia. Jika ditanyakan, tentunya bangsa ini akan lebih bangga melihat anak-anak yang memang dilahirkan di Ibu Pertiwi ini yang menjadi pilar sepak bola Indonesia di masa depan.

Lantas, apakah dengan demikian kita harus antipati dengan pemain keturunan macam Irfan atau Kim? Tentulah kita tak boleh senaif itu. Bagaimanapun, negeri ini pernah punya pemain keturunan bernama Tan Liong Houw. Terpenting, di hati para pemain keturunan itu punya tekad yang bulat jika Indonesia adalah negeri yang harus dijunjung, tanah air yang harus dibela, dan kehormatan yang harus dijaga.

Juga tanpa bermaksud mengesampingkan kontribusi El Loco, tentunya suporter negeri ini akan sangat rindu akan kehadiran Ramang-Ramang kecil, Abdul Kadir-Abdul Kadir cilik, atau Ricky Yacobi-Ricky Yacobi muda yang siap menjaga kebanggaan negeri ini.

Sebab, di darah dan tulang mereka telah mengalir keberanian dan kesucian tekad laksana Sang Merah Putih yang berkibar megah di angkasa. Merekalah yang siap berjuang sepenuh hati, hingga rela mengorbankan jiwa dan raganya di lapangan, demi keharuman timnas Indonesia di masa depan.

Tentunya, perlu ada sinkronisasi dari proyek pembinaan usia muda itu. Termasuk dari  klub-klub peserta Liga Indonesia. Mereka tak boleh silau hanya karena seorang pemain berstatus nama asing. Padahal secara kualitas, belum tentu lebih baik daripada pemain lokal. Bahkan pada beberapa kasus, para pemain asing itu mempunyai sikap mental yang buruk.

Bagaimanapun, produk dalam negeri yang berkualitas jelas jauh lebih bagus dibandingkan produk impor yang hanya menang di merek dan label. Sudah saatnya, paradigma masyarakat negeri ini diubah. Tak perlu lagi merasa kurang bergengsi kala memakai produk dalam negeri. Termasuk juga dalam lingkup sepak bola.

(Artikel dibuat ketika Indonesia hendak melawan Uruguay, Oktober lalu, dan sedikit penyesuaian dengan performa teranyar di Piala AFF 2010)