Pertemuan final Piala AFF 2010 antara Indonesia melawan Malaysia menghadirkan memori rivalitas kedua negara sekitar lima dekade lampau. Saat itu, friksi yang terjadi menimbulkan gejolak sosial luar biasa sehingga timbullah propaganda, “Ganyang Malaysia!”

Suatu bentuk ketidaksetujuan pemerintah Indonesia terhadap penggabungan Brunei, Sabah, dan Sarawak dalam Persekutuan Tanah Melayu yang diotaki Malaysia. Ir. Soekarno selaku presiden pertama Indonesia melihat Malaysia hanyalah negara boneka dari Inggris. Konsolidasi semacam itu dianggap aka-akalan agar Inggris bisa mengontrol Asia Tenggara, yang dikhawatirkan bisa mengancam kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sidang Setia Kawan Pemuda Internasional, 23 Januari 1963, di Istora Senayan Jakarta. Sidang ini merupakan langkah awal Soekarno menggalang dukungan internasional atas pemikirannya berkonfrontasi dengan Malaysia. (Dok. jakarta.go.id)

Propaganda itu bermula dari pidato Bung Karno pada 3 Mei 1964 di Jakarta. Sebagai orator ulung, Bung Karno lantas berpidato guna membakar semangat rakyat untuk menimbulkan sikap anti-Malaysia.

“Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo…ayoo… kita… Ganjang…
Ganjang… Malaysia
Ganjang… Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!”

Itulah pangkal awal dari adanya sebutan “Ganyang Malaysia”. Tak lama berselang, sebuah operasi militer dibentuk. Pada sebuah rapat raksasa di di Jakarta, Bung Karno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat yang disingkat menjadi Dwikora. Isinya:
1. Pertinggi pertahanan revolusi Indonesia.
2. Bantu perjuangan revolusioner Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia.

Sikap Bung Karno pun tegas. Dia rela keluar dari PBB lantaran Malaysia ikut bergabung. Hubungan diplomatik kedua negara pun menjadi tiada.

46 TAHUN BERSELANG

Seruan “Ganyang Malaysia!” kembali berkumandang di negeri ini. Dan itu terjadi di lapangan sepak bola – meski tak memungkiri ada kaitannya dengan klaim Malaysia soal beberapa hasil budaya Indonesia dan sikap buruk warga Malaysia kepada para TKI dan TKW. Indonesia dan Malaysia kini bersaing menjadi yang terbaik se-Asia Tenggara pada ajang Piala AFF 2010.

Saking pentingnya laga ini demi martabat bangsa, propaganda yang lahir pada akhir era kepemimpinan Bung Karno pun kembali diendapkan. Sikap kebencian terhadap Malaysia, kepada segelintir orang, kembali dibentuk dengan menganggap laga final Piala AFF 2010 ini sebagai pertempuran harga diri bangsa.

Perang psikologis pun dilancarkan. Berita-berita yang isinya menyudutkan Indonesia dari sudut pandang orang Malaysia, diembuskan oleh media-media negeri ini. Sampai-sampai, Manohara pun “dihidupkan” kembali lantaran dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap Malaysia saat ini.

Laiknya bensin yang disiram bensin, sebagian masyarakat kita langsung panas ketika mendengar adanya kesewenang-wenangan yang bakal dilakukan suporter Malaysia saat Indonesia menjalani final pertama di Stadion Putra Bukit Jalil. Pemberitaan salah satu media yang mengulas sebuah forum anti-Indonesia di Malaysia contohnya. Ketika disebut ada rencana untuk mencemooh “Indonesia Raya” kala lagu kebangsaan diperdengarkan, sebagian masyarakat kita bereaksi. Mereka tak terima. Mulai dari cacian hingga usaha pembalasan kala gantian Malaysia tampil di Jakarta, menjadi reaksi masyarakat terhadap berita itu.

Sebuah sikap yang menurut saya chauvinistis. Sikap mengenai cinta tanah air dan bangsa secara berlebihan. Suatu hal yang menunjukkan jika belum ada kedewasaan sikap dari sebagian suporter Indonesia.

Mereka, yang kesal terhadap rencana sebagian suporter Malaysia, seolah tak bercermin pada diri sendiri. Sebagai yang menyaksikan langsung di Gelora Bung Karno, saya melihat dengan jelas reaksi suporter kita yang tak terima ketika ada sekelompok suporter Malaysia yang datang. Para tamu itu dilempari. Ketika “Negaraku” diperdendangkan, nada cemoohan pun keluar dari sebagian suporter di stadion.

Mereka itu seolah lupa. Indonesia hanyalah satu dari sekitar dua ratus negara yang ada di dunia. Meski bangga sebagai bangsa Indonesia, tak sepatutnyalah cemoohan terhadap lagu kebangsaan dilakukan. Tengok saja Piala Dunia. Bahkan, desingan vuvuzela pun sangat jauh berkurang ketika lagu kebangsaan tim yang bertanding diudarakan, pada Piala Dunia 2010 lalu.

Terkait dengan pertandingan final Piala AFF 2010 antara Indonesia vs Malaysia, sebagian dari kita seolah lupa, bahwa itu hanyalah sebuah pertandingan sepak bola. Memang, ada martabat bangsa yang dipertaruhkan pada duel tersebut. Tapi, bukan berarti lantas kita harus menjelek-jelekkan dan bersikap tak terpuji. Mengapa pula kita terlalu paranoid mengingat hal itu hanyalah wacana di dunia maya yang belum terealisasi?

Andaipun sebagian suporter Malaysia di Bukit Jalil akan mencemooh lagu kebangsaan kita, biarkanlah. Tak perlu juga kita balas di sini. Buktikanlah kita sebagai bangsa yang lebih besar. Bangsa yang punya harga diri lebih tinggi dibandingkan Negeri Jiran yang dianggap telah mencuri beberapa hasil budi daya putra bangsa ini. Dengan menunjukkan hal itu, dunia tentu akan melihat, siapa yang sesungguhnya bangsa yang memiliki budaya adiluhung.

Laga antara Indonesia dan Malaysia di Piala AFF 2010 seharusnya tak dikait-kaitkan dengan propaganda "Ganyang Malaysia" yang dicetuskan Bung Karno 46 tahun lalu. (ADEK BERRY/AFP/Getty Images-Daylife)

DWIKORA BARU

Daripada kita capek-capek membalas kelakuan minor sebagian suporter Malaysia, lebih baik energi itu digunakan untuk melakukan gerakan sosial terhadap musuh pencinta sepak bola Indonesia. Seseorang yang dianggap bertanggung jawab terhadap karut-marut sepak bola negara ini dalam satu dekade terakhir. Sosok yang sering diminta turun oleh suporter kita. Dialah Nurdin Halid. Sudah banyak suporter negeri ini yang kecewa kala PSSI di bawah kepemimpinannya. (Soal apa saja dosa dia terhadap sepak bola negeri ini, tak perlu panjang lebar saya jelaskan karena sudah menjadi rahasia umum di kalangan para suporter :p)

Saya kemudian berandai-andai jika Bung Karno masih hidup dan dia adalah seorang suporter sejati dan melihat karut-marutnya kondisi sepak bola di bawah pengelolaan PSSI kala dipegang Nurdin Halid dan antek-anteknya. Lantaran sepak bola dianggap sebagai salah satu identitas kebangaan bangsa, Bung Karno tentu akan mempunyai kepedulian tinggi terhadapnya. Malah, bukan tak mungkin operasi Dwikora akan mengalami pergeseran makna. Bukan lagi operasi militer. Melainkan operasi pembersihan citra sepak bola negeri ini.

Isi perintah Dwikora pun tentu akan diubah isinya menjadi:
1. Peningkatan mutu sepak bola Indonesia.
2. Bantu perjuangan suporter Indonesia untuk membersihkan PSSI, terutama dari Nurdin Halid dan antek-anteknya.

Isi pidatonya di Istana Olahraga (Istora) Senayan – sesuai dengan nama awal stadion hasil kreasinya – di hadapan rakyat dan suporter pun tentu akan berubah.

“Kalau kita gagal, itu biasa
Kalau kita malu, itu juga biasa
Namun kalau kita gagal dan malu itu karena Nurdin Halid, sangat kurang ajar!

Kerahkan kekuatan suporter ke Senayan, hajar Nurdin dan antek-anteknya!
Tentang dan paksa turun, jangan sampai prestasi timnas kita dijadikan komoditas oleh orang tak tahu malu itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot sepak bola, sebagai martir sepak bola, dan sebagai tameng sepak bola Indonesia agar tak diacak-acak oleh Nurdin dan antek-anteknya

Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri. Bahwa suporter Indonesia akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini. Dan kita tunjukkan bahwa suporter masih memiliki gigi yang kuat dan kita bisa menjadi alat kontrol sosial

Yoo… ayooo… kita.. Ganyang
Ganyang… Nurdin
Ganyang… Nurdin
Bulatkan tekad
Semangat kita baja
Peluru kita banyak
Nyawa kita banyak
Bila perlu satu-satu”

Bung Karno tentu akan bangga jika sepak bola Indonesia dikelola dengan baik, termasuk soal kompetisi, sehingga bermuara pada timnas yang tangguh. Ketika timnas sudah tangguh dan berhasil menjadi yang terbaik di Asia Tenggara, terutama dengan menggebuk Malaysia, kebanggaan ganda tentu dirasakan dia. Bangga melihat tim sepak bola berjaya, sekaligus bangga bisa memukul Malaysia dengan cara yang lebih murah dibandingkan operasi militer. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pula terlampaui.

Majulah, Sepak Bola dan Timnas Indonesia! Kepaklah dan terbanglah setinggi mungkin, Garuda! Kami semua selalu siap mendukungmu!