Loe bete? Tumben
Hah, loe marah? Sejak kapan?

Dua kalimat di atas paling sering didengar dalam hidup. Entah darimana asalnya, orang-orang yang kenal atau sekadar tahu saya, pasti akan selalu memunculkan reaksi seperti kalimat di atas ketika saya tak seceria biasanya.

Bagi mereka, saya bisa dianggap seperti seorang “Comedian”. Sosok yang bisa dijadikan harapan terakhir ketika mereka bete dan butuh lelucon. Atau mungkin sekadar tempat untuk membuang keluh-kesah sehingga beban yang dirasakan bisa jauh berkurang.

Sanguinis-melankolis. Itulah dasar sifat utama saya menurut hasil tes yang dilakukan secara mandiri melalui buku “Personality Plus”. Secara umum, orang dengan sifat itu dikenal humoris dan menyenangnkan untuk dijadikan teman – meski bisa saja untuk sekadar teman ngobrol.

Atas anggapan orang-orang itu jualah, saya mempunyai topeng yang sudah melekat sejak lama di wajah ini. Topeng dengan guratan senyum pada bagian bibir dan mata berbinar.

Topeng itu pun seolah membuat saya dianggap sebagai sosok yang selalu gembira, riang, penuh suka cita, tak pernah punya masalah, dan seolah kata marah menjadi haram hukumnya melekat pada diri ini.

Karenanya, bila ada seseorang yang menanyakan, berapa kali saya pernah marah, saya akan menjawab dengan tegas, “Jari pada dua telapak tangan ini saja masih terlalu banyak untuk menghitungnya.”

Ya, jika memang kategori marah yang benar-benar saya semburkan keluar, jumlahnya tak sampai 5 kali sejak saya akil balig. Yang paling diingat adalah marah kepada teman saya pada kelas 1 SMA dan pada 2003 kepada seseorang yang pernah dekat dengan saya.

Tapi, jika yang ditanyakan termasuk kategori marah yang tak diungkapkan, jumlahnya tak terhitung. Ya, sudah sering saya mengalami rasa marah namun tak bisa diungkapkan karena topeng yang sudah lama melekat itu.

Watchmen movie image Jeffrey Dean Morgan as Edward Blake The Comedian

Cap publik yang menilai diri ini sebagai sosok humoris memang membuat saya tak punya ruang leluasa untuk mencurahkan segala emosi negatif saya. Umpatan, cacian, atau makian paling banter diwujudkan dalam bentuk gerutuan atau sekadar dinyanyikan. Paling maksimal, dikonversi menjadi bulir air mata.

Jujur saya mengakui, air mata menjadi puncak pengejawantahan dari rasa marah. Bukan berarti saya cengeng. Hanya sebuah bentuk lain dari pengungkapan rasa marah yang begitu besar, namun tak mungkin diwujudkan dalam bentuk kata-kata. Dan, itu pun karena topeng yang sudah begitu lama melekat di wajah ini.

Lalu, apakah saya bisa dikatakan seorang munafik? Orang boleh saja berpendapat demikian. Tapi, saya pun punya alasan kuat untuk bersikap sepert itu.

Buat saya pribadi, lebih senang melihat orang lain gembira karena saya. Dibandingkan, melihat orang lain ikut berempati karena kejadian negatif yang sama alami.

Saya pun mengakui jika untuk menjadi seorang komedian itu tak mudah. Dalam perasaan sedih pun, mereka harus bisa menghibur para audiens. Tapi, para komedian itu hebat. Ketika terjadi sesuatu yang negatif, mereka bisa mengesampingkannya dengan alasan profesionalitas kerja.

Fakta itu membuat saya berpikir. Bisa jadi saya ini seorang komedian, hanya dalam skala yang sangat kecil. Akan lebih menyenangkan dan membuat saya sangat puas jika keberadaan diri ini bisa menimbulkan orang sekitar tertawa. Tanpa perlu tahu apa yang sesungguhnya dialami hati kecil saya ini.

Dan, saya pun tak bakal mengubah itu. Topeng pun sudah berubah menjadi kulit ari yang menutupi wajah ini.