Agak miris rasanya melihat perkembangan dan pewarisan kultur suporter di Indonesia. Bukannya semakin membaik, malah memperuncing perseteruan.

Tak percaya? Tengoklah anak-anak seumuran kelas 1 SMP yang mendukung salah satu klub tradisional dengan massa besar, entah itu Persija Jakarta, Persib bandung, Arema Malang, atau Persebaya Surabaya. Hampir bisa dipastikan, sebagian dari mereka hafal dengan lagu-lagu bersifat rasialis yang mengejek tim lawan.

Nyanyian berlirik rasialis barulah contoh kecil dari pewarisan yang salah dari kultur suporter sepak bola di tanah air. Bentrok bahkan kerusuhan suporter merupakan bukti terdapat kesalahan pendidikan suporter di negeri ini.

“Ah, mereka kan beraninya kalau banyakan. Coba datang satu-satu, pasti biasa aja,” tukas seorang teman yang merasa menjadi minoritas di domisilinya karena mendukung tim yang menjadi musuh tim asal kota tersebut. Lebih tepatnya, permusuhan itu terjadi lantaran friksi antara komunitas suporter tim kesayangan. Karena, meski bertarung di lapangan, para pemain tetaplah akan bersalaman usai laga. Lain halnya dengan komunitas suporter yang sudah mempunyai dendam hingga akar rumput.

Pernyataan teman saya itu bisa dibenarkan. Sikap fanatisme berlebihan dari para (oknum) suporter itu tak lepas dari rasa “aman” yang dirasakan lantaran merupakan bagian dari sebuah kelompok besar. Atau dalam istilah psikologi disebut deindividuation atau deindividuasi.

Dalam deindividuasi, identitas seseorang akan berkurang bahkan melebur dan digantikan dengan identitas kelompok. Karenanya, wajar apabila para suporter fanatik itu berani melakukan “kegilaan” bahkan hingga menunjukkan sikap anarkis jika telah mengenakan kostum yang sama dengan komunitasnya.

Contohlah anggota punk dengan gaya rambut ala durian atau landak. Jarang mereka ditemui tengah berjalan sendiri di keramaian. Minimal berdua. Atau lihatlah aksi pengendara motor. Jika sendiri, tentu tak ada yang mau berhenti di depan zebra cross kala lampu merah. Lain halnya ketika beberapa pengendara motor “bersatu”.

Deindividuasi terjadi lantaran seseorang menjadi menjadi anonim akibat perleburan dengan identitas kelompok itu. Semakin seorang menjadi anonim, semakin berkuranglah tanggung jawab mereka atas tindakan yang dilakukannya. Itu membuat seseorang tak merasa bersalah bahkan bisa dianulir dengan mengatakan sebagai kelaziman. Sikap pengemudi motor di atas bisa dijadikan sebagai salah satu studi kasus.

Lantas, apakah semua deindividuasi atau anonimitas itu akan berujung pada hal negatif? Tentu saja tidak. Tergantung dari bagaimana cara seseorang menyikapinya.

Pendidikan dan keluarga memegang peranan penting dalam pembentukan sikap seseorang. Fans dengan tingkat pendidikan tinggi dan dibesarkan dengan pola asuh yang baik, pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari tindakan-tindakan represif bahkan anarkis yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Mereka pun tak mudah terpancing ketika ada isu negatif yang diembuskan.

Tapi, bukan berarti orang yang berpendidikan rendah tak bisa demikian. Intinya, tergantung kesadaran dan kedewasaan sikap dari masing-masing individu. Dan, pendidikan untuk hal itu, tak melulu didapatkan secara formal di bangku-bangku sekolah.

Andai sudah punya kesadaran diri yang baik, seorang fans yang lebih “tua” tentu tak bakal mau mengajarkan “adik-adiknya” menyanyikan lagu bernada rasialis dan intimidatif. Bagaimanapun, tak elok rasanya melihat anak yang masih bau kencur menyanyikan lagu-lagu demikian. Bagaimana mungkin meredam kerusuhan suporter jika dari masing-masing individunya saja tak punya kesadaran sikap bagaimana cara mendukung sepak bola secara benar?