Jumat kedua pada Mei 2006. Saya berada di gerbong Eksekutif Kereta Api Parahyangan, jurusan Bandung – Jakarta.

Melihat hari keberangkatan, mungkin ada yang bertanya. Bukankah saya itu setiap akhir pekan justru berada di Bandung, kota kelahiran saya. Lantas, kenapa pada kisah ini justru menuju Jakarta?

Begini ceritanya. Malam sebelumnya, sang pujaan hati yang kini menjadi istri, mempunyai acara syukuran kantor di Jakarta dan baru selesai hampir tengah malam. Dengan berusaha menjadi gentleman, maklum belum genap tiga minggu jadian, saya pun berusaha mengantarkan dirinya kembali ke Bandung. Tak peduli besok harinya harus sudah kembali berada di Jakarta.

Syahdan, setelah mengantarkan sampai Bandung, saya diturunkan di Stasiun Bandung. Saya berangkat dengan menggunakan kereta yang paling pagi.

Ditambah semalam terus terjaga dan juga sudah menjadi kebiasaan, saya terlelap di perjalanan. Satu yang saya kecewa dari perjalanan ini, saya mendapatkan tempat duduk di gang. Padahal, biasanya saya selalu memilih dekat jendela. Namun siapa sangka, berawal dari kesalahan tempat duduk itu, saya mendapatkan informasi yang cukup berharga.

Di tengah perjalanan, saya merasa terganggu dengan tiga orang yang duduk saling berhadap-hadapan dari kursi di seberang saya. Mencoba untuk menegur, saya lihat, ternyata mereka lebih tua dari saya. Niat itu pun saya urungkan.

Lantaran kembali terjaga, saya pun tidak sengaja mendengar ucapan mereka. Ternyata, mereka berbicara tentang sepak bola, dan Liga Indonesia. Menarik, jarang-jarang orang berbicara pertandingan Liga Indonesia, dan belum dipertandingkan pula.

Coba saya melirik kembali ke bangku seberang, ternyata wajah mereka cukup familiar. Bermodal menjadi intel zaman SMA – buat teman yang meminta informasi soal kecengannya, saya pun tahu siapa mereka. Satu orang wasit dan dua orang hakim garis.

Mereka tampak sibuk berbicara pertandingan, namun dengan nada sedikit gelisah. “Kok, belum ditelepon-telepon ya?” tanya salah satu dari mereka. Kemudian mereka kembali mengobrol.

Di tengah obrolan, telepon salah satu dari mereka berbunyi dan diangkat. Melihat dari isi pembicaraan, kemungkinan sedang terjadi negosiasi harga. “Masak cuma segitu, Bos?” jawab sang penerima telepon sambil terkekeh.

Telepon pun dimatikan sebentar. “Nanti dia akan menelepon lagi,” jawab sang penerima telepon.

Benar saja, tak beberapa lama, telepon dia kembali berbunyi. Kembali terjadi negosiasi. Dan pada akhirnya, “Oke, paling 50 ya?” tanya sang penerima telepon retoris. Setelah telepon dimatikan, dia pun menjawab, “Beres ‘kan?” dan langsung diikuti gelak tawa puas.

Sadar menggunakan jaket berlabel kantor tempat bekerja, saya coba menutupi. Iseng-iseng bertanya dalam menggunakan bahasa daerah. Setelah diterjemahkan, artinya menjadi, “Mau kemana, Pak?” tanya saya.

Sedikit kaget ditanya, sang penerima telepon menjawab, “Mau ke Jakarta.” Fool, setiap orang juga tahu kalo KA Parahyangan dari Bandung tujuan akhirnya adalah Jakarta.

“Mau tugas di mana, Pak?” tanya saya lagi. Sedikit mendelik dan mungkin dia merasa tugasnya diketahui, dia menjawab salah satu kota di Pulau Jawa. “Ke Jakarta terus sambung naik pesawat,” jawab dia mencoba bersikap tenang.

Saya tak melanjutkan pertanyaan lagi. Mereka pun kembali asyik mengobrol. Tampak terdengar rencana mereka mau apa saja sepulangnya dari tugas, yakni memimpin pertandingan.

Singkat cerita, saya sampai kantor. Lalu, saya mengecek jadwal pertandingan. Ternyata, memang benar ada pertandingan sore itu. Hasil akhir bisa ditebak. Kemenangan telak bagi tuan rumah.

Pada pertandingan tersebut, tuan rumah memang terlihat diuntungkan dengan beberapa putusan wasit. Protes pun sempat dilakukan oleh para pemain tamu.

Saya pun terngiang pembicaraan para korps baju hitam itu di KA Parahyangan. Apakah yang mereka bicarakan itu soal pertandingan ini? Sungguh mahal rasanya bila angka 50 itu merujuk pada Rp50 juta jika untuk memenangkan salah satu tim. Bagaimanapun, kualitas tuan rumah itu lebih bagus daripada lawannya. Tapi, angka itu pun bisa menjadi sangat kecil bila dibandingkan rusaknya nilai-nilai sportivitas di sepak bola.

Jika memang upaya untuk memenangkan pertandingan itu mencapai Rp50 juta, siapa saja yang mendapatkan porsi bagian “uang haram” itu?

Januari 2011. Kejadian lima tahun silam itu kembali terpikir karena dua dari tiga sosok yang saya temui di KA Parahyangan itu sudah menghilang dari Liga Indonesia yang kini berganti kedok menjadi ISL. Yang satu sudah menjadi wasit di futsal, yang satu memimpin pertandingan di kompetisi anyar negeri ini.

Siapakah ketiga orang itu?