Menyambung cerita di artikel sebelumnya…

Minggu, 31 Juli 2011, siang hari. Tepat dua tahun meninggalnya ayah saya. Saya yang memang tengah menginap di rumah orang tua, dipanggil ibu ke kamarnya.

Pada awalnya, tak ada pikiran apa-apa di benak saya soal pemanggilan ini. Ibu pun hanya bercerita dan bertanya soal kabar saya dan keluarga inti saya.

Selang beberapa lama, ibu saya mengucapkan sebuah kalimat yang langsung membuat saya bungkam. “Lu, kalau Mami sudah gak ada, Mami titip keluarga ini ke Alu ya…” pinta ibu saya.

“Khawatir umur Mami udah gak lama, Mami nitip ke Alu buat hak waris dari almarhum papa. Mami nitip ini, jangan sampai keluarga ini ribut hanya karena perebutan harta warisan,” sambungnya. Ibu saya pun membeberkan hak waris yang dibuat, termasuk hitung-hitungannya serta menegaskan dengan menyebutkan tanggal dibuatnya pernyataan itu.

Jujur, pernyataan kedua itu yang membuat saya tak bisa berkata apa-apa. Perasaan di hati saya campur aduk. Pertama, tentu saya terkenang dengan almarhum ayah saya.

Hal kedua, yang ternyata membuat saya tak kuasa menahan sedih, adalah kenyataan jika keluarga ini sudah berada di “ujung” jalan. Sebagai anak dari kedua orang tua, kini kami harus bisa benar-benar berjalan “sendiri” tanpa ada yang membimbing langsung, saat surat waris itu benar-benar dilaksanakan.

Poin ketiga yang membuat saya terhenyak adalah kepercayaan ibu saya yang demikian besar kepada saya. Sebuah amanat yang demikian berat. Bagaimanapun, saya adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Beda dengan kakak yang kembar adalah 8 tahun dan 9 tahun dengan kakak tertua.

The youngest become the eldest. Saya sebagai anak bungsu, diberi kepercayaan untuk menjaga keutuhan Keluarga Besar Herman Hidayat dan Tjum Suganda. “Meski kamu yang paling bungsu, Mami percaya Alu bisa menjalankan amanat ini. Tolong jaga ya…”

Dua kali ibu saya menegaskan hal itu, menjaga keutuhan keluarga. Memang, tidak sedikit keluarga yang terpecah hanya karena perebutan hak waris. Orang tua saya tentu tak mau keempat anaknya saling bermusuhan hanya karena hal itu terjadi.

Di sisi lain, amanat itu pun membuat saya malu. Bagaimana tidak, dibandingkan dengan ketiga kakak, sayalah yang paling sering membangkang kepada orang tua.

Ah… Saya jadi teringat kisah seorang raja yang punya empat orang anak dan bersiap mewariskan kerajaannya. Sang raja pun melakukan tes kepada empat anaknya. Dan akhirnya, si bungsulah yang menjadi pemenang lantaran dinilai jujur. Sementara saya sendiri merasa sayalah yang paling sering membuat kecewa kedua orang tua dibandingkan ketiga kakak saya.

Saya masih “men-Jalu” bukanlah Jalu yang seperti orang saya inginkan. Tapi, orang tua saya tampaknya punya pandangan lain. Karenanya, mereka memberikan amanat yang berat ini kepada saya.

Semoga saja saya bisa menjalankan amanat ini. Sehingga seperti cerita raja dan keempat anaknya, saya bisa menjaga “kerajaan” ini tetap utuh dan terjaga hingga anak cucu kami. Amin