Ce: Kamu di mana sih?
Co: Aku masih di jalan, Sayang
Ce: Bohong… Pasti ngelaba dulu deh…
Co: Enggak, Sayang… Ban motorku tadi kempes jadi harus ke tukang tambal ban dulu…
Ce: Udah ah, aku pulang naek angkot aja!!!
Co: Iih, kok gitu?!
Ce: Abis kelamaan…

Penggalan cerita di atas mungkin pernah dialami oleh salah satu di antara kita ketika zaman pacaran. Ada kalanya, pacar kita ngambek hanya karena kita telat ngejemput atau datang untuk apel ke rumahnya.

Perasaan ngambek itu tentu tidak serta-merta muncul. Rasa ngambek akibat ketidaksabaran itu pasti ada yang mendasarinya. Cinta!

Ya, perasaan cinta seolah menjadi causa prima dari perasaan ngambek yang terjadi. Saking cintanya kita sama seseorang, kita jadi selalu berharap orang yang dicintai itu bisa muncul dengan hanya mengucapkan “sim salabim”. Manusia cenderung menjadi tidak sabar karena cinta.

Ketidaksabaran itu tak hanya terbatas pada hubungan antarmanusia. Perasaan cinta terhadap suatu benda pun bisa menimbulkan ketidaksabaran.

Hal itu setidaknya dialami Roman Abramovich. Taipan asal Rusia itu sangat cinta dengan Chelsea, klub sepak bola yang dimilikinya. Saking cintanya, Abramovich tak mempermasalahkan jumlah uang yang dikeluarkan untuk membentuk The Blues menjadi tim juara seperti yang diinginkan.

Ambisi besar Abramovich itu pun sudah banyak memakan korban. Teranyar, Abramovich berani memecat Andre Villas-Boas, manajer yang saat didatangkannya saja harus dengan kompensasi sebesar 13,3 juta pounds kepada FC Porto. Uang kompensasinya pun tak kalah besar, 9 juta pounds!

Ditambah dengan biaya kompensasi Carlo Ancelotti – pelatih pendahulu Villas-Boas, Abramovich sudah mengeluarkan sekitar 32 juta pounds dalam 9 bulan terakhir hanya untuk posisi manajer Chelsea! Itu setara dengan Rp462 miliar!

Masa kerja Villas-Boas di Chelsea begitulah pendek. Hanya 256 hari dia memimpin Frank Lampard cs dalam 40 partai.

Ambisi dan cinta memang bisa membutakan. Itulah yang terjadi di Chelsea selama dipegang Abramovich. Saking berambisi dan cintanya, Abramovich tak mau melihat timnya sedikit menyimpang dari trek yang seharusnya. Posisi kelima atau berada di luar zona Liga Champions seperti saat Villas-Boas dipecat tentu dianggap Abramovich bukan habitat yang pantas untuk The Blues.

Jaminan tampil di Liga Champions menjadi syarat mutlak Abramovich. Dengan gelimangan uang yang ada di kompetisi tersebut, Abramovich tentu bisa sedikit bernapas. Bagaimanapun, uang dalam jumlah besar dibutuhkannya untuk membuat neraca timnya biru. Andai masih merah, alamat Chelsea terganjal aturan UEFA Financial Fair Play dan tak bisa berlaga di Liga Champions. Hal yang tentu punya efek domino negatif.

Di satu sisi, Abramovich – meski statusnya sebagai pemilik dan pemodal utama – bisa dikatakan salah lantaran mengharapkan sebuah prestasi instan dari seorang pelatih muda yang secara umur satu angkatan dengan pemain senior yang ada di Chelsea. Tapi di sisi lain, sifat keras kepala Villas-Boas jualah yang membuatnya tercelat dari kursi manajer.

Sudah sering didengar jika kondisi kamar ganti Chelsea tidak begitu kondusif. Pemain senior yang punya pengaruh besar merasa kecewa terpinggirkan. Sayangnya, Villas-Boas seolah menutup mata dengan kondisi yang terjadi di Chelsea. Laiknya anak muda yang selalu ngotot mempertahankan pendiriannya, begitu juga Villas-Boas. Mantan asisten Jose Mourinho itu tetap kukuh memakai pola 4-3-3 yang sukses di Porto, tapi tak berjalan baik di Chelsea karena karakter pemain yang ada berbeda.

Dia seolah tak belajar dari pengalaman Luiz Felipe Scolari yang dipecat setelah hanya 7 bulan melatih. Pelatih asal Brasil itu keukeuh mengubah permainan pragmatis Chelsea peninggalan Mourinho (dan Avram Grant) ketika ditunjuk sebagai manajer pada musim 2008-09. Dia juga sempat mengalami friksi dengan salah satu pemain senior, Lampard, akibat memboyong Deco yang secara posisi bisa bentrok.

Saat Scolari dilengserken, Guus Hiddink masuk dan sempat mempersembahkan trofi Piala FA. Kemudian hadirlah sosok Ancelotti. Berbekal pengalaman di Italia yang kental dengan sepak bola pragmatis dengan pertahanan kokoh, Ancelotti tak merusak peninggalan filosofi permainan Mourinho. Dia pun sukses mempersembahkan double winners pada musim pertamanya. Sayang, dia menyulut ketidaksabaran Abramovich sehingga harus lengser pada akhir musim kedua.

Berkaca dari Grant – yang meloloskan Chelsea ke final Liga Champions – dan Hiddink, Roberto Di Matteo patutlah optimistis menatap sisa kompetisi sebagai caretaker. Setidaknya, meski kurang populer dan kurang pengalaman melatih klub besar, harapan melihat Chelsea yang lebih baik tentu ada.

Andai Di Matteo sukses, Abramovich mungkin saja mau mempekerjakannya secara permanen sebagai manajer. Jikapun tidak, pembahasan calon manajer Chelsea musim depan, begitu seru untuk dilewatkan.

Josep Guardiola, Joachim Low, bahkan Mourinho masuk bursa. Yang menjadi pertanyaan, akankah Mourinho mau kembali ke Stamford Bridge setelah terlibat friksi dengan jajaran manajemen pada akhir masa pengabdiannya dulu? Hanya pelatih dengan mental baja dan sedikit ”gila” yang mau menerima tantangan ambisi Abramovich di Chelsea. Siapakah dia?

Sir John Denham, English Poet: Ambition is like love, impatient. Both of delays and rivals.