Selayaknya orang Bandung, wajar apabila saya suka kemudian cinta dan mendukung Persib Bandung. Tim yang tak hanya menjadi ikon Kota Bandung pun Jawa Barat alias Tatar Sunda pada umumnya.

Kecintaan saya bermula sejak TK Nol Kecil. Meski kalah dari PSMS Medan di Senayan, saya kagum dengan penampilan Adjat Sudradjat cs. Rasa cinta itu dikuatkan ketika Persib menang atas PSM Makassar di semifinal Perserikatan 1989. Ade Mulyono sampai berdarah-darah pada laga yang berlangsung keras itu. Perjuangan mereka pun terbayarkan dengan menjadi kampiun usai mengalahkan Persebaya Surabaya.

Keberadaan Bandung Raya ketika format kompetisi berubah menjadi Liga Indonesia memang sempat membuat saya berselingkuh. Terlebih penampilan Peri Sandria dan Dejan Gluscevic sangat menggoda kala itu.

Toh, kecintaan Persib tetaplah ada. Meski sempat berkutat di papan bawah dan nyaris terdegradasi, tak membuat kecintaan saya berkurang.

Kehadiran pemain asing pada awal milenium baru memang sempat menggoyahkan hati saya. Jujur, rasa primordial yang saya miliki terlalu besar. Agak aneh saja, Persib yang identik dengan pemain lokal disusupi nama-nama asing. Tapi, itu pun hanya berlangsung sesaat. Saya bisa menerima kehadiran mereka dan bahkan melihat mereka punya manah atau hati warga Bandung.

Ketika saya menjadi wartawan, kesempatan saya untuk semakin dekat dengan pemain Persib kian terbuka. Sejak akhir 2004, saya mulai dekat dengan beberapa pemain. Termasuk pemain untuk level junior. Saya cukup bangga dengan mereka yang bisa tetap menembus tim utama meski sarat pemain asing dan pemain lokal yang berasal dari luar Jawa Barat.

Akan tetapi, saya merasakan ada hal yang aneh dalam 2-3 tahun terakhir. Saya merasa rasa cinta saya untuk Persib kian terkikis. Bahkan, cenderung tidak peduli. Memang, saya selalu ingin tahu dengan hasil yang diraih, tetap mencari berita terbaru, hingga berkomunikasi dengan sejumlah pemain.

Puncaknya, pada awal musim ISL 2011-12. Kepergian Eka Ramdani jujur saya telah membuat saya kecewa. Secara personal, saya memang cukup kecewa dengan putusan Eka meninggalkan Maung Bandung. Tapi setelah mendengarkan pemaparannya, saya bisa menerima.

“Kepastian merupakan hal yang paling diinginkan oleh seorang pemain. Ketika manajemen mengatakan akan segera memberikan penjelasan, saya menunggu.  Namun ternyata kepastian itu tidak ada,” cerita Eka pada hari pertama berita hengkangnya ke Persisam Samarinda menjadi pembicaraan.

Bobotoh yang kecewa dengan sikap dan tak tahu alasan di belakangnya bisa menuduh yang tidak-tidak. Dari menganggap Eka mata duitan hingga bersikap antipati termasuk kepada distro yang dikelolanya.

“Kalau mereka tahu, pengorbanan saya keluar dari Persib itu lebih besar. Meninggalkan usaha yang tengah dirintis dan terberat adalah meninggalkan keluarga, termasuk Persib” cerita Eka.

Di satu sisi, putusan Eka hengkang bisa jadi karena dirinya memang membutuhkan tantangan baru untuk menyegarkan diri. Tapi di sisi lain, tentu ada kealpaan yang dilakukan manajemen sehingga putra daerah seperti Eka harus pergi dari Persib.

Jeda kompetisi ISL 2011-12, kembali Persib harus kehilangan pemainnya. Wildansyah memutuskan mundur dari tim karena kalah bersaing dengan beberapa pemain baru yang didatangkan. “Saya cuma ingin cari pengalaman,” ucapnya lirih. Sebab, saya yakin dalam hatinya, Wildan tak punya keinginan untuk hengkang dari tim yang dipujanya sejak kecil.

Eka dan Wildan hanyalah satu dari sekian eksodus pemain asli yang terjadi di kubu Persib. Bersamaan dengan Eka saja, Persib melepas Jejen Zaenal Abidin hingga Munadi. Padahal, keduanya tampil terbilang cukup baik musim lalu.

Jika merunut ke belakang, sudah banyak pemain yang keluar dari Persib hanya karena manajemen terlalu ingin membuat Persib bertabur bintang. Masih ingat saat saya bertemu Usep Munandar saat baru pertama kali pindah ke PSMS. “Ah, saya mah bukan siapa-siapa. Enggak pantas gabung di tim bintang seperti Persib,” ungkapnya saat itu.

Kepergiaan pemain binaan asli itulah yang membuat rasa cinta saya kepada Persib mulai luntur, meski tak bakal hilang. Dalam anggapan saya, pemain binaan asli klub tentulah sebuah aset yang tak boleh disia-siakan. Sebab, merekalah sebenarnya yang punya “manah Persib” dan tahu arti sesungguhnya dari kata manah itu sendiri.

Dalam hati saya ini pun berteriak. “Kumaha rek ngabela lembur lamun teu boga manah? Siapa yang berani membela kampung halamannya dengan sepenuh hati? Tentu saja putra daerah yang sejak kecil sudah mencintai daerahnya itu sendiri.”

Begitu juga dengan sepak bola. Tanpa menafikan sosok para pemain profesional di luar sana, seorang pemain binaan, pasti akan punya hasrat yang lebih besar untuk turun berjuang membela klub yang dicintainya.

“Sebuah hal yang fantastis jika sebuah klub memiliki banyak pemain akademi di tim utamanya. Mereka akan merasa bermain untuk tim mereka sendiri. Saya pikir, pemain didikan akademi akan bekerja lebih keras jika mereka bermain di klub yang membesarkannya,” ujar Phil Cannon, Academy Manager Blackburn Rovers.

Dalam analisis saya, penampilan Persib yang terbilang labil dalam beberapa musim terakhir pun tak lepas dari mulai lunturnya “manah” di tim itu sendiri. Dan, “manah” itu tidaklah dibuat. Melainkan dilahirkan. Butuh proses untuk penciptaannya. Dan, itu sudah menjadi tugas seluruh manajemen tim. Bukan hanya menunjuk pelatih sebagai biang kerok penurunan performa.

Ingatan saya pun kembali ke perbincangan dengan Max Timisella, legenda Persib, pada 2006 di depan Sekretariat Persib di Jl. Gurame. “Zaman saya, pemain itu akan bangga membela Persib bukan karena ditawarkan uang yang besar. Melainkan karena memang kecintaan terhadap klub,” tutur mantan pemain yang sempat menjebol gawang Werder Bremen itu.

Sebagai bobotoh, orang Sunda, dan juga warga Bandung, saya tentu berharap Persib bisa kembali ke ciri utamanya. Sebagai klub yang mengedepankan potensi pemain binaan. Memang, untuk meraih prestasi, butuh waktu. Tapi – sekali lagi tanpa menafikan keberadaan pemain profesional, bermodal pemain binaan yang punya cinta yang demikian besar di manahnya, harapan untuk melihat Persib kembali disegani cukup terbuka. Jikapun gagal menjadi yang terbaik, saya akan tetap bangga lantaran para putra daerah sudah berjuang sepenuh hati membela kampung halamannya.

Jung maju Maung Bandung
Prak tandang muga sing meunang
Ulah ringrang tong hariwang
Kade poho cantik sportif di lapangan
(Alm. Kang Ibing)