Menarik menyimak kisah Diego Michiels. Jelang Piala AFF 2012, dia menjadi berita utama di sejumlah media nasional. Bukan karena prestasinya di lapangan hijau, melainkan kasus pemukulannya pada suatu malam ketika timnas hendak melakukan persiapan jelang tampil di Piala AFF.

Diego Michiels mendapatkan keistimewaan yang tak didapat Tong Sin Fu. (Foto: Dok. DuniaSoccer)

Diego pun merajuk untuk bisa dibebaskan dari tuntutan hukum dari korban penganiayaan. Dalih sang pengacara, agar kliennya bisa membela Tim Merah Putih untuk berlaga di Piala AFF.

“Ada aturan bahwa sebuah tim yang bertanding di turnamen internasional harus bermaterikan 23 pemain. Jika Diego tak bisa tampil, Indonesia bisa kena sanksi FIFA,” jelas pengacara perempuan yang cukup sering menjadi penasihat hukum selebritis Indonesia.

(Pernyataan yang cukup aneh dan menggelitik dan menunjukkan bahwa pengacara tersebut tak paham betul aturan di sepak bola. Mana ada sebuah negara disanksi karena tak bisa menyertakan 23 nama untuk tampil di sebuah turnamen resmi. Kalaupun tidak bisa, apalah susahnya mencari tambahan satu pemain untuk memenuhi kuota?)

Terlepas dari usaha sang penasihat hukum dan beberapa pihak yang ingin Diego selamat atau setidaknya mendapatkan penundaan hukuman, kasus penganiayaan tersebut sangatlah miris. Apa pun dalih Diego, sikapnya itu jelas tak seharusnya ditunjukkan seorang pemain berlabel timnas.

Keluar malam ketika tim sedang persiapan dan tak bisa menahan emosi dengan melakukan pemukulan sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai sportivitas. Pemain naturalisasi yang harusnya bisa dijadikan contoh bagi pemain asli Indonesia, justru malah menunjukkan sikap kurang pantas.

BEDA NASIB

Sepak bola seolah menjadi anak emas di negeri ini. Proses naturalisasi seolah menjadi gampang ketika prestasi instan begitu didewakan. Dimulai ketika zaman Nurdin Halid sebagai pemegang tampuk pimpinan PSSI, perburuan pemain asing dan berdarah Indonesia demi mengejar prestasi.

Situasi itu amat berbeda dengan cabang lain. Ambil contoh bulu tangkis. Kurang berjasa apa Tong Sin Fu sebagai pelatih bulu tangkis Indonesia. Dialah sutradara dibalik kejayaan era tepok bulu Indonesia pada awal 1990-an.

Sosok kelahiran Lampung pada 13 Maret 1942 itu melahirkan pebulu tangkis generasi Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, hingga Susi Susanti. Ketiganyalah yang mengharumkan Indonesia di Olimpiade 1992 dengan tampil di final dan mempersembahkan medali.

Melihat jasanya yang begitu besar, Tong lantas mencoba mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia. Malang nasib Om Tong, dia ditolak. Dia pun kembali ke Cina.

Tangan emas Om Tong tak habis meski sudah berusia uzur. Lewat tangannyalah, dunia bisa melihat pebulu tangkis paling atraktif di muka bumi saat ini, Lin Dan. Saking berjasanya Tong, pebulu tangkis nomor satu dunia itu selalu mendedikasikan kemenangannya bagi sang pelatih.

Cobalah berandai-andai… Bayangkan Om Tong masih di Indonesia, setidaknya kita bisa berharap bulu tangkis di Indonesia tidak mengalami titik nadir seperti saat ini.

Coba bayangkan pula ketidakadilan yang dialami Om Tong dengan keistimewaan yang didapatkan Diego. Belum juga menghadirkan prestasi apik bagi negeri ini, Diego sudah punya status WNI. Sementara Om Tong yang lahir di negeri ini dan berjasa mengantarkan sejumlah atlet menjadi juara di bulu tangkis, sungguh sulit untuk mendapatkan haknya.

Hal yang membuat ironis, ada benang merah antara kehadiran Diego dan Om Tong di Indonesia. Kali pertama Diego datang tak lepas dari andil Keluarga Bakrie. Terbukti klub yang pertama mengontraknya adalah Pelita Jaya.

Begitu juga dengan Om Tong. Kembali ke Indonesia pada 1986, dia menjadi pelatih bulu tangkis di klub Pelita Jaya. Setelah itu, barulah dia ditarik ke pelatnas Cipayung.

Kesamaan awal perjalanan itu tak punya akhir yang sama. Om Tong berjasa melahirkan pebulu tangkis andal namun gagal mendapatkan status WNI.  sementara Diego……..