Minggu, 15 Desember 2013, menjadi hari yang paling berbahagia buat saya. Pada hari tersebut, untuk pertama kalinya, saya mengikuti lomba lari yang digagas Nike, #bajakJKT :p

Sebuah pencapaian spesial menurut saya yang bertubuh buncit. Jangankan lari 10 kilometer, joging rutin dengan fasilitas yang sudah disediakan kantor aja kadang masih males, apalagi membayangkan jarak 10 km yang tak ubahnya jarak antara Pasar Lembang dan Tangkuban Perahu.

Tuh kan, nama saya tercatat sebagai peserta.

Maka, dimulailah lomba lari itu. Tepat pukul 06.30 WIB, bendera tanda start dikibarkan oleh tiga bintang sepak bola Indonesia, Bambang Pamungkas, Ahmad Bustomi, dan Ponaryo Astaman.

Sebagai #JDIJKTCREW saya beruntung mendapatkan posisi start yang terdepan. Begitu bendera start dikibarkan, berebet saya lumpat (kalo kata orang Sunda mah).

Tak butuh waktu lama buat saya untuk mengetahui kemampuan dalam berlari. Belum sampai satu kilometer berlari, 1, 2, 3, 4, … 100 orang bahkan lebih mulai menyusul. Ah, buat saya tidak masalah, toh yang saya cari dari lari ini bukan untuk sebuah pengakuan akan kemenangan atau waktu yang ditempuh.

Kilometer demi kilometer dilalui. Semakin banyak yang mendahului saya. Kaki yang terasa kian berat membuat saya tak bisa lari untuk berlari dengan kecepatan penuh. Ya, cukup 5 km/jam seperti settingan ketika ada niatan treadmill di kantor hehe…

Terkadang, ketika melihat ada kendaraan yang ditahan polisi demi membiarkan para pelari lewat, barulah saya mempercepat langkah. Selain gak enak hati sama para pengguna jalan yang lain, saya juga gengsi donk kalo pengendara itu ngomong, “Huh, boyot (lambat) aja mau ikut lomba lari!”

Singkat cerita, sampailah saya pada papan berjarak 400 meter menjelang garis akhir. Memasuki gerbang Stadion Gelora Bung Karno, terpampang spanduk bertuliskan, “Garis Finish Bukan Akhir Dari Lari Loe!”.

Gegap gempita menyambut saya (juga pelari-pelari lain sebelum saya) saat memasuki stadion. Meski berasal dari rekaman, suara itu setidaknya memberikan semangat tambahan bagi saya untuk mempercepat masuk garis finish.

“Ayo Kang, biar keren kita ke garis finishnya harus lari,” kata teman saya, Andre Mundre, menyemangati.

Kami pun berlari saat 100 meter menjelang garis finish. Papan digital menunjukkan waktu 1 jam 49 menit. Duh, meleset 19 menit dari target saya untuk menyelesaikan lomba dalam 1 jam 30 menit ๐Ÿ˜€

Hanya saja, ketika ada yang menanya, “Berapa menit lari tadi?”, saya dengan lantang menjawab, “satu nol sembilan!” Orang pasti menyangka waktu saya adalah satu jam 9 menit. Padahal, maksud saya 109 menit alias 1 jam 49 menit hehehe

Memang ada perasaan magis ketika mencapai garis finish. Kebanggaan yang luar biasa karena saya bisa menyelesaikan lomba lari 10K pertama saya. Sekaligus menepis anggapan teman SD saya, Rezki Adhitia, yang ditemui jelang start. “Ah, maneh finis wae batur moal percaya, Jal,” seloroh dia. (“Aing bisa Rez!!” :p)

Perasaan yang luar biasa itu terus terasa sampai berhari-hari kemudian. Semangat untuk berolahraga (terlebih setelah mengetahui tensi saya sangat tinggi 160/110) terus menggelora.

Benar kata spanduk sebelum memasuki putaran akhir finis, “Bukan Akhir Dari Lari Loe!”. Itu juga yang saya rasakan saat ini.

Enggak perlu takut gagal menyelesaikan lomba atau finish belakangan. Tujuan sesungguhnya bagi orang awam yang mengikuti lomba lari toh bukan mengejar catatan waktu. Lebih kepada menjaga kondisi tubuh dan ajang silaturahim, karena saya bertemu dari teman masa TK hingga kuliah di lomba lari tersebut. ย Mungkin plus mencari jodoh buat beberapa teman yang masih single ๐Ÿ˜€

Tabik.

Pose sebelum lomba, sayang perut gak bisa ditutupin ๐Ÿ™‚