Satu bulan lagi, Piala Dunia 2014 akan digelar. Brasil 2014 adalah Piala Dunia kedelapan yang disaksikan oleh saya sejak melek sepak bola pada 1985.

Dari delapan Piala Dunia itu, ada sejumlah laga yang begitu terekam dalam ingatan saya. Uniknya, laga-laga itu bukanlah final Piala Dunia yang merupakan puncak dari kemeriahan sepak bola di kolong jagat.

Ambil contoh Piala Dunia 1990. Saya begitu terkesan dengan babak 16-besar antara Brasil dan Argentina. Bukan lantaran Claudio Cannigia mencetak gol indah setelah menerima umpan Diego Maradona atau ucapan Branco usai pertandingan yang mengatakan dirinya seolah “dibius” dengan air mineral yang diberikan tim medis Argentina.

Momen yang tertinggal dari laga itu adalah kejadian beberapa saat sebelum kick-off babak kedua. Saat itu, kamera televisi menyorot perempuan suporter Brasil. Tanpa dikira, si cewek melepas penutup auratnya yang ada di bagian atas. Bagi anak SD seperti saya, hal tersebut tentu menjadi sebuah memori, entah indah atau justru menjadikan saya berotak mesum seperti sekarang hehe…

Laga lain yang saya ingat adalah partai Nigeria vs Paraguay di Prancis 1988. Saat itu, saya suka dengan aksi Jose Luis Chilavert, kiper Paraguay, yang menerima backpass dari pemain bertahan lalu kemudian menggocek (kalau tidak salah) Rasheed Yekini.

Paraguay menang 3-1 atas Nigeria. Sebuah kejutan lantaran Nigeria sebelumnya membungkam Spanyol dan Bulgaria yang merupakan dua unggulan teratas Grup D.

Satu hal yang menarik dari laga Nigeria vs Paraguay adalah putusan Bora Milutinovic mencadangkan sejumlah pilar The Super Eagles. Dia seolah mengabaikan peringatan Finidi George usai menang atas Bulgaria, “Untuk laga berikutnya, kami harus tetap menjaga mentalitas pemenang seperti ini.”

Mungkin atas dasar strategi dan guna mengistirahatkan pemain, Milutinovic memainkan sebagian besar pemain pelapis pada laga pamungkas yang sudah tak lagi menentukan melawan Paraguay. “Toh, kami sudah bisa relaks dengan kelolosan ini,” jelas Milutinovic.

Pada laga melawan Uruguay, terlihat Finidi George dan Daniel Amokachi tertawa lepas. Mereka sangat santai dan seolah tak peduli dengan hasil akhir pertandingan melawan Paraguay.

Sikap santai itu kemudian menjadi bumerang di babak 16-besar. Putusan Milutinovic mencadangkan skuat utama berbuah blunder. Mentalitas pemenang yang sudah dibangun sejak kemenangan pada laga pertama melawan Spanyol seolah kembali ke titik nol. Nigeria dibuat tak berdaya oleh Denmark dan kalah 1-4. “Kami menjadi kehilangan fokus,” sesal Finidi usai kekalahan tersebut.

Paraguay menang 3-1 atas Nigeria di Piala Dunia 1998.

SEPERTI BAYERN

Putusan Milutinovic pada laga Nigeria vs Paraguay itu terekam kuat dalam benak saya. Terutama setiap terjadi fenomena serupa, seperti Bayern Munchen musim ini. Usai kemenangan 3-1 atas Hertha Berlin pada 26 Maret lalu, performa Bayern merosot tajam.

Prestasi menjadi juara dengan sisa delapan spieltag tampaknya telah membuat pasukan Bayern terlena, termasuk pelatih Josep Guardiola.

Usai kemenangan atas Hertha, Guardiola bereksperimen dengan menurunkan sejumlah pemain pelapis pada laga melawan TSG 1899 Hoffenheim. Philipp Lahm, Manuel Neuer, dam Arjem Robben terlihat santai di bangku cadangan.

Bayern gagal menang atas Hoffenheim. Padahal, laga tersebut dilangsungkan di kandang sendiri. “Ini adalah laga pertama usai kami juara sehingga lawan bermain lebih agresif,” elak Guardiola usai pertandingan.

Tapi, ternyata bukan hanya pada laga tersebut Bayern melempem. Imbas dari kelengahan yang terjadi akibat tak mempertahankan skuat utama dan mentalitas pemenang, Bayern keteteran pada sisa kompetisi. Kekalahan telak dari Borussia Dortmund dan Real Madrid menjadi bukti sahih.

Laga melawan Borussia Dortmund di final DFB Pokal, akhir pekan ini, menjadi tantangan bagi Guardiola untuk membuktikan dirinya bisa kembali membangkitkan mentalitas Bayern. Jika kembali dibekuk Dortmund, pelatih asal Spanyol itu tampaknya harus kembali disodorkan ujar-ujar, “Don’t change the winning team.”

Saya juga teringat akan laga ketiga Jerman (Barat) pada fase grup – juga Grup D – Piala Dunia 1990 melawan Kolombia – salah satu laga yang juga meninggalkan kesan karena saya tahu apa itu dijebol melewati selangkangan setelah membaca ulasan Kompas soal gol Freddy Rincon ke gawang Bodo Illgner. Tak heran, otak saya sampai saat ini pasti tak jauh dari urusan selangkangan :p

Saat itu, lantaran Der Panzer sudah lolos, Franz Beckenbauer mencadangankan sejumlah pemain, tapi komposisi utama dipertahankan. Pencadadangan pemain pun penuh perhitungan. Pelatih yang merupakan kapten Der Panzer di Piala Dunia 1974 itu sengaja menyimpan Brehme yang sudah terkena satu kartu kuning.

Putusan Beckenbauer itu terbukti manjur. Brehme menentukan keberhasilan timnya menjuarai Italia 1990 melalui gol indah ke gawang Belanda di perdelapan final dan penalti ke gawang Argentina pada laga puncak.

Perhitungan tersebut tentu tak ada pada putusan Milutinovic pada laga Nigeria vs Paraguay. Dari laga tersebut, saya pun sependapat bahwa untuk banyak kesempatan, prinsip “Don’t change the winning team” tak boleh ditanggalkan.

Itulah sebagian laga-laga Piala Dunia yang meninggalkan kesan bagi saya. Apa laga Piala Dunia yang meninggalkan kesan bagi Anda hingga sekarang?