Adalah sebuah klub sepak bola di kota Bandung bernama Bandung Raya. Dia hadir di Kota Kembang di tengah-tengah kemapanan dan hegemoni Persib Bandung sebagai tim kesayangan masyarakat Tanah Priangan.

Bandung Raya yang dibentuk pada 17 Juni 1987 kalah tua dari tim sekotanya, Persib, yang telah berdiri sejak 1933. Tak mudah bagi Bandung Raya merebut hati pencinta masyarakat Bandung saat itu.

Saya termasuk salah satu dari segelintir orang yang pernah menyaksikan laga Galatama yang melibatkan Bandung Raya di Stadion Siliwangi antara 1988 dan 1991. Saat itu, paling hanya sekitar 500 pasang mata yang menyaksikan aksi Tony Abdullah dkk. Meski sempat mengejutkan dengan menempatkan Dadang Kurnia sebagai top skorer, tetap tak banyak yang peduli dengan keberadaan Bandung Raya.

Situasi mulai berubah ketika Perserikatan dan Galatama dilebur menjadi satu. Bandung Raya mulai mendapatkan atensi dari publik Parijs van Java. Keberhasilan menahan Persib 1-1 menjadi awal perubahan pandangan publik Bandung terhadap Bandung Raya. Meski tak langsung menyedot banyak fans, setidaknya penonton aksi Dejan Gluscevic-Peri Sandria dkk sudah bisa menyentuh ribuan pasang mata.

Performa Bandung Raya pada musim perdana Liga Indonesia itu pun membuat perhatian sebagian bobotoh Persib berpaling. Hati mereka sedikit goyah. Cinta kepada Persib tetap nomor satu, tapi godaan Bandung Raya membuat mereka tak kuasa melakukan pengkhianatan kecil.

Perselingkuhan itu pun terbayar. Bandung Raya yang disokong Mastrans bisa menjaga trofi lambang supremasi sepak bola tertinggi tanah air tetap di Tatar Priangan, khususnya Bandung.

Akan tetapi, kejayaan Bandung Raya tak bertahan lama. Setelah menjadi finalis pada gelaran ketiga Liga Indonesia, klub tersebut memilih mengundurkan diri dari pentas sepak bola nasional tanpa diketahui penyebab pastinya. Para pemain klub tersebut memilih berkiprah dan sukses bersama klub barunya.

April 2004.

Selang tujuh tahun dari bubarnya Bandung Raya. Saat pertama kali mendapatkan panggilan kerja dari Kompas Gramedia, hati saya langsung berbunga. Menjadi wartawan sepak bola merupakan cita-cita terpendam saya. Impiannya saya cuma satu: terbang meliput Piala Dunia.

Selain berbunga, jujur, saya juga sempat kaget lantaran panggilan kerja saya datang dari Tabloid SOCCER. “Apakah itu?” tanya saya kepada rekan satu kontrakan. Teman saya itu pun bercerita bahwa SOCCER merupakan tabloid yang khusus mengupas sepak bola. Saya pun menyempatkan membeli edisi terbaru dari tabloid tersebut sebagai bahan untuk wawancara.

Singkat cerita, saya pun diterima bekerja di SOCCER. Meski berbeda dengan latar belakang akademik, saya begitu menikmati kerja dengan tekanan deadline yang demikian ketat, karena saat itu untuk pertama kalinya, SOCCER dibuatkan terbit seminggu dua kali. Saya tetap menjalani rutinitas tersebut dengan perasaan senang.

“Ketika kamu punya keinginan kuat, seluruh dunia akan berkonspirasi untuk membantumu mewujudkan impian itu,” ujar Raja Tua dalam novel Sang Alkemis karya Paulo Coelho.

Kalimat itu jualah yang membuat mensyukuri jalan yang diberikan oleh-Nya. Impian masa kecil saya untuk meliput langsung Piala Dunia langsung terpenuhi, hanya dalam tempo dua tahun bekerja. Saya terbang meliput Germany 2006.

Liputan Piala Dunia merupakan satu dari sekian mimpi yang saya wujudkan berkat SOCCER. Mimpi-mimpi yang lain datang menghampiri. Salah satunya adalah tampil di layar televisi.

Bagi saya pribadi, SOCCER bukan sekadar tempat bekerja. Di situlah rumah (karena memang saya jarang pula ke kost) dan keluarga lain saya. Ada ikatan emosional kuat yang terbentuk selama bertahun-tahun bekerja di SOCCER, tak peduli berapa banyak orang yang datang dan pergi.

Kebahagiaan kami semakin meningkat setelah lahir DuniaSoccer. Situs sepak bola yang awalnya hanya berarmadakan dua orang itu bisa menjadi rumah tempat belajar kami dan para mahasiswa yang datang. Keluarga kami pun semakin besar.

Suka dan duka kami lalui bersama. Goncangan dan badai merupakan hal yang jamak ditemui. Tapi, hal tersebut membuat kami semakin kuat dan besar. Cobaan dan deraan itu justru menempa kami untuk mewujudkan mimpi yang lebih besar.

Manusia hanya bisa berusaha, tapi Tuhan yang memutuskan. Ujar-ujar itu yang dirasakan setelah 10 tahun tujuh bulan bekerja di SOCCER. Keinginan dan mimpi baru yang ingin dikejar terpaksa harus kami lupakan untuk selama-lamanya.

Rumah yang membentuk saya selama satu dekade ini harus menghadapi kenyataan tergusur oleh roda zaman. Saya pun merasakan detak jantung yang sangat kencang selama dua hari setelah pengumuman penggusuran rumah saya ini.

Ketika itu, saya pun paham dengan perasaan orang-orang yang harus menghadapi kenyataan bahwa rumahnya tempat menghabiskan masa kecil digusur sehingga harus terpisah dengan keluarga maupun tetangga yang telah dikenal dekat. Ada emosi yang menjalar. Bukan marah, bukan kesal, tapi saya tak bisa mengungkapkannya.

Akan tetapi, hidup harus terus berjalan. Tuhan Maha Tahu yang terbaik bagi makhluk ciptaan-Nya. Kalimat itu jua yang menjadi penyemangat dan penopang hati saya. Insya Allah, ini baik bagi saya 🙂

Saya merasa bersyukur bisa mendapatkan tempaan dan pembelajaran hidup di SOCCER, khususnya keluarga besar Kompas Gramedia. Dari situlah, saya bisa menjadi sosok Kang Jalu seperti sekarang ini.

Kepada audiens SOCCER dan DuniaSoccer, saya pribadi mohon maaf atas segala kekhilafan yang mungkin kami lakukan seperti typing error, kesalahan data, hingga kesulitan mengakses situs kami. Hanya kalianlah yang membuat kami bisa terus menjaga semangat untuk menyelesaikan produk terakhir kami, SOCCER Edisi No. 13/XV. Kamis, 9 Oktober ini, kami mohon pamit.

#SOCCERpamit

Setelah lama mati suri, Bandung Raya kembali muncul dan mengejutkan pentas sepak bola nasional pada 2013. Mempunyai julukan The Boys Are Back, mereka tampil mengejutkan pada 2014 dengan menjadi penguasa Bandung setelah dua kali menggagalkan ambisi Persib dalam duel Wilayah Barat Indonesia Super League.